WASHINGTON, SABTU - Dialog Amerika Serikat dan China berakhir dengan komentar keras dari kedua delegasi. Laut China Selatan dan Taiwan menjadi pemicu utama ketegangan itu.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dan Menteri Pertahanan Jim Mattis bertemu mitra mereka dari China, Jumat (9/11/2018) malam, di Washington DC, AS. Pejabat senior Partai Komunis China dan arsitek kebijakan luar negeri China, Yang Jiechi, dan Menhan Wei Fenghe bertemu Pompeo-Mattis setelah rencana pertemuan tertunda sebulan.
Pompeo secara terbuka menyoroti tekanan China pada kebebasan beragama dan kelompok minoritas. Ia juga mengkritik upaya Beijing mengisolasi Taiwan. Isu lain yang disoroti adalah isu Laut China Selatan. Beberapa kali nyaris terjadi insiden antara kapal perang dan jet tempur AS-China di sekitar pulau-pulau buatan China.
Yang menanggapi tudingan itu dengan menyebut AS melakukan militerisasi Laut China Selatan. ”China menegaskan kepada AS untuk berhenti mengirim kapal dan pesawat tempur mendekati pulau-pulau dan karang China serta berhenti melakukan tindakan yang mengganggu kepentingan keamanan dan kewenangan China. Tidak ada masalah kebebasan berlayar atau terbang. Jadi, menggunakan isu itu untuk melakukan tindakan militer adalah hal yang tidak punya dasar hukum,” kata Yang.
Komentar itu dibalas Mattis dengan keras. ”Kami menyampaikan dengan jelas, AS akan terus terbang, berlayar, dan beroperasi di mana saja yang diizinkan hukum internasional,” ujarnya.
Kerja sama
Meskipun demikian, Mattis tidak menampik AS-China perlu bekerja sama pada sektor-sektor terkait kepentingan bersama. ”Persaingan tidak berarti permusuhan. Tidak pula berarti harus menjadi konflik,” ujarnya.
Wei juga berpendapat AS-China perlu meningkatkan kerja sama, termasuk antarmiliter kedua negara. Kerja sama itu bisa menurunkan risiko konflik di antara dua kekuatan besar di Pasifik itu. ”Kerja sama satu-satunya pilihan bagi kita. Konfrontasi dan konflik di antara tentara (kedua negara) akan menjadi bencana untuk semua,” katanya.
Pompeo pun berpendapat nyaris senada. ”AS tidak ingin perang dingin atau memengaruhi kebijakan China. Kami hanya ingin memastikan China bertindak secara bertanggung jawab dan adil dalam mendukung keamanan dan kesejahteraan kedua negara,” ujarnya.
Perang dagang
Pertemuan itu tidak secara khusus membahas perang dagang. Meskipun demikian, Yang berharap ada penyelesaian dari perang dagang AS-China. ”Perang dagang tidak akan menyelesaikan apa pun, malah hanya akan menyakiti kedua belah pihak dan perekonomian global. Peluang negosiasi masih terbuka dan mari mengingat betapa kedua negara telah sukses melewati tantangan dalam hubungan ekonomi dan dagang sebelum ini,” ujarnya.
Harapan Yang tidak mudah diwujudkan. Sebab, AS terus meningkatkan tekanan dalam perang dagang itu. Presiden AS Donald Trump mengenakan bea masuk bagi produk senilai 250 miliar dollar AS dari China. Sementara China membalasnya dengan mengenakan bea masuk bagi produk AS senilai 110 miliar dollar AS. (AP/AFP/RAZ)