JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo menyatakan prihatin atas eksekusi Tuti Tursilawati yang dilakukan tanpa notifikasi kepada Pemerintah Indonesia. ”Itu patut kita sesalkan,” kata Presiden kepada wartawan, Rabu (31/10/2018), seusai menghadiri penyerahan sertifikat tenaga konstruksi dan membuka Indonesia Infrastructure Week 2018 di Jakarta.
Pemerintah Indonesia, menurut Presiden, sudah menyampaikan protes atas eksekusi yang dilakukan tanpa notifikasi tersebut. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi melalui hubungan telepon juga menyampaikan hal itu kepada Menlu Arab Saudi Adel bin Ahmed al-Jubeir.
Saat menerima kunjungan kehormatan Menlu Arab Saudi ataupun ketika bertemu Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud, Presiden Jokowi juga selalu mengingatkan masalah perlindungan tenaga kerja Indonesia. Kendati demikian, Pemerintah Indonesia tak bisa mencampuri wilayah hukum Kerajaan Arab Saudi.
Sebagaimana telah diberitakan, Tuti, pekerja migran asal Majalengka, Jawa Barat, divonis hukuman pancung oleh pengadilan Arab Saudi pada 2010. Dia didakwa melakukan pembunuhan berencana terhadap ayah majikannya yang sebelumnya pernah berusaha memerkosanya. Tuti yang awalnya korban pelecehan justru menjadi pesakitan.
Tuti dieksekusi pada Senin (29/10/2018) pagi. Tuti adalah warga kedua Indonesia yang dieksekusi di Arab Saudi pada 2018 ini. Sebelumnya, Zaini Misrin dieksekusi pada Maret 2018, juga tanpa menyampaikan pemberitahuan resmi kepada Pemerintah RI.
Kementerian Luar Negeri mencatat, sepanjang 2011-2018 terdapat 103 WNI terancam hukuman mati. Sebanyak 85 orang berhasil dibebaskan, tetapi lima orang dari 103 warga dieksekusi dan 13 orang lainnya menunggu proses lanjutan.
Satu kanal
Di tengah keprihatinan atas eksekusi Tuti, Kementerian Ketenagakerjaan menguji coba penempatan pekerja migran Indonesia (PMI) satu kanal. Sistem ini tidak menerapkan sistem kafalah atau majikan perseorangan.
Sistem baru ini menggunakan sistem syarikah atau perusahaan yang ditunjuk bertanggung jawab kepada Pemerintah Arab Saudi. Dalam sistem itu, perjanjian kerja dibuat berdasarkan prinsip kerja yang layak dan pembayaran gaji bisa diawasi serta dirancang untuk mencegah penempatan secara ilegal.
Menurut Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri, sistem ini akan dievaluasi setiap enam bulan. Saat ini tengah disiapkan instrumen evaluasinya. Hanif mengungkapkan, hingga saat ini permintaan PMI tetap ada kendati penempatan untuk pengguna perseorangan di kawasan Timur Tengah sudah dihentikan. ”Moratorium untuk Timur Tengah tetap berlaku,” kata Hanif.
Bertalian dengan upaya perlindungan PMI, pemerintah melalui Menteri Luar Negeri mengusulkan kepada mitranya, Menlu Arab Saudi, untuk membahas perjanjian mandatory consular notification (MNC) atau kewajiban negara penerima untuk memberi tahu negara pengirim mengenai masalah yang dihadapi warganya. (INA/JOS)