Bhutan yang Bebas Karbon Pun Kini Hadapi Tantangan Perubahan Iklim
Deru angin yang lembut dari turbin angin seolah menunjukkan kehebatan Bhutan sebagai satu-satunya negara di dunia bebas karbon. Namun, banyak tantangan menghadang Bhutan yang bertekad menjadi negeri yang ramah lingkungan di atas ekspansi ekonomi yang kian merajalela.
Bhutan yang tanahnya bergunung-gunung itu akan menyelenggarakan pemilu ketiganya pada 18 Oktober 2018. Bhutan menyerap tiga kali lebih banyak CO2 daripada yang dikeluarkannya. Itu terutama berkat hutan lebat yang menutupi 72 persen dari tanahnya.
Dikenal sebagai ”Shangri-La terakhir” karena menggunakan kebahagiaan sebagai ukuran kesuksesan, Bhutan yang luas wilayahnya hampir sama dengan Swiss tersebut sangat berhati-hati menjaga lingkungannya agar tetap murni meskipun sering kali harus mengorbankan keuntungan yang sebenarnya bisa diraih.
Bhutan yang berpopulasi 800.000 jiwa tersebut membatasi jumlah wisatawan yang ingin berkunjung ke sana. Caranya adalah dengan menetapkan biaya harian yang tinggi bagi wisatawan, yakni 250 dollar AS (Rp 3.750.000) per hari per wisatawan yang ingin bertandang ke Bhutan di musim libur. Tingginya biaya harian yang ditetapkan Pemerintah Bhutan itu tentu mengurangi ledakan wisatawan yang telah menghancurkan keaslian alam di Bhutan.
Keluar proyek
Pada Mei lalu, Bhutan memilih keluar dari proyek konektivitas jalan regional yang didukung India, terutama karena kekhawatiran bahwa truk-truk yang datang dari negara lain akan mengotori udara Bhutan. Konstitusi Bhutan menetapkan bahwa setidaknya 60 persen wilayah Bhutan harus tertutup hutan, termasuk menjaga lahan pertanian dan industri kayu yang sebenarnya berpotensi untung.
”Ada godaan besar untuk menggali kekayaan hutan kami, tetapi kami memikirkan jangka panjang,” kata Dasho Paljor Dorji dari Komisi Lingkungan Nasional Bhutan.
Berdasarkan rencana lima tahunan yang ke-11, Bhutan berusaha mengurangi impor bahan bakar fosilnya pada tahun 2020. Bhutan sejauh ini hanya memiliki 100 mobil listrik, tetapi ingin meningkatkan jumlahnya dan berencana memperkenalkan jaringan nasional stasiun pengisian tenaga untuk mobil listrik. Pada tahun 2016 Bhutan memasang turbin angin pertamanya.
Jika kita berjalan melalui Kota Thimpu yang bersih dan rapi, satu-satunya ibu kota di Asia tanpa lampu lalu lintas, kita akan dapatkan gambaran sekilas komitmen hijau Bhutan. Ini merupakan sebuah pemandangan langka di Asia Selatan: kendaraan-kendaraan pengangkut jalan berat menyapu jalanan dengan gerakan memutar lambat, sementara truk mengumpulkan sampah organik dari rumah tangga.
Hanya dua jam perjalanan di Distrik Punakha yang berhutan, beberapa buldoser terlihat sibuk di proyek pembangkit listrik tenaga air. Bhutan adalah salah satu dari 10 negara yang bertujuan agar negaranya tetap bebas karbon.
Semua proyek pembangkit listrik tenaga air dibiayai mitra terbesar Bhutan, India. Menurut Bank Pembangunan Asia, hidropower ini merupakan ekspor terbesar Bhutan pada tahun 2016, menyumbang 32,4 persen dari total ekspor Bhutan dan 8 persen dari PDB.
Semua energi saat ini terkonsentrasi ke India, tetapi juga ada rencana untuk mengekspor ke Bangladesh. Namun juga muncul kekhawatiran atas dampak bendungan pada keanekaragaman hayati, terutama karena Bhutan bergeser dari bendungan run-of-the-river berdampak rendah, yang tidak memerlukan waduk besar ke waduk skala besar.
Bantuan luar
Untuk bisa bertahan agar tetap ramah lingkungan, itu tergantung pada Bhutan yang menerima dana dari luar. Hal ini yang diragukan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump saat tahun lalu mengumumkan bahwa AS akan mundur dari kesepakatan iklim Paris tahun 2015.
Berdasarkan kesepakatan itu, negara-negara kaya sepakat memberikan dana tahunan senilai 100 miliar dollar AS (Rp 1.500 triliun) untuk membantu negara-negara berkembang beradaptasi dengan pemanasan global saat ini. Bhutan sangat merasakan kehancuran akibat perubahan iklim, mulai dari mencairnya gletser, harus mengubah pola tanam, hingga penyebaran penyakit yang ditularkan nyamuk.
Suhu udara telah mulai menyentuh 30 derajat celsius. Ini mengkhawatirkan penduduk setempat yang tidak terbiasa dengan panas dan kelembaban. ”Bahkan pola salju telah berubah. Sebelumnya salju akan turun selama beberapa hari, sekarang bahkan tidak bertahan sehari,” kata Tenzin Wangmo, pejabat lingkungan Bhutan.
Wangmo mengatakan bahwa iklim yang lebih hangat berarti sawah memerlukan lokasi seperti wilayah Bumthang yang sebelumnya tidak pernah digunakan untuk menanam padi. ”Perubahan iklim tidak dalam kendali kami. Kami tidak melakukan apa pun, tetapi kami harus membayar harga yang ” kata Wangmo.
Lebih jauh lagi, sistem drainase baru yang diperlukan untuk mencegah banjir di hilir memerlukan pekerja yang ditempatkan di daerah terpencil yang tinggi di pegunungan. ”Banyak uang dan tenaga kerja diperlukan untuk upaya semacam itu. Tapi dari mana kami dapat pendanaan dan pengembangan kapasitas?” kata Wangmo.
Delegasi Green Climate Fund (GCF) yang mengunjungi Bhutan pada Agustus 2018 lalu mengatakan akan membantu Bhutan agar tetap pada jalur rendah emisi dan tahan terhadap perubahan iklim. ”Saya pikir kontribusi Bhutan bagi komunitas global dengan menjaga penyerapan karbonnya adalah hal yang hebat. Untuk itu kami layak didukung, kami harus dihargai sama,” kata Dorji. (AFP)