Pidato ”Hampa” Trump Jadi Tertawaan di PBB
Presiden AS Donald Trump memperlakukan para dubes dan kepala negara seperti para pendukungnya yang unik. Dia berpidato di PBB, New York, AS, Selasa (25/9/2018), dengan kalimat mirip isi pidatonya kepada pendukungnya. Kali ini bukan sorak-sorai euforia yang muncul, melainkan reaksi meledek lewat tertawa.
Trump mengawali pidatonya dengan kalimat kurang lebih seperti berikut. ”Setahun lalu (2017) saya berdiri di sini, di hadapan Anda semua, menguraikan ancaman yang sedang dihadapi dunia, dan saat itu saya menyampaikan visi untuk meraih masa depan lebih cerah terkait segala aspek kemanusiaan.”
”Sekarang saya berdiri lagi di sini untuk berbagi kemajuan yang telah kami lakukan. Dalam kurang dari dua tahun, pemerintahan saya telah meraih lebih dari apa pun yang pernah dicapai pemerintahan mana pun dalam sejarah negara kami.” Trump hendak mengatakan Pemerintah AS di bawahnya adalah yang terbaik soal kinerja.
Saat Trump mengatakan itu, hadirin di panggung terhormat itu, Sidang Umum PBB, pun menertawakannya. Lalu Trump berkata, ”Aku tak menyangka akan ada reaksi seperti itu, tetapi that’s OK (tidak apa),” kata Trump. Suara makin menggemuruh.
Trump pintar mengalihkan suasana ”kecut” di hati menjadi cair. Dia tidak terlihat gelisah atau bermimik geram. Trump cerdas dengan bakat alamiahnya, dia tidak melihat berbagai masalah harus dipikirkan berat atau terlalu serius. Trump spontan dan pragmatis. Keadaan di ruangan PBB itu—istrinya, Melanie, hadir—pun tenang.
Trump melanjutkan pidatonya. Rangkaian isi pidatonya datar dan tak ada tepukan gemuruh kecuali saat penutupan pidato. Bahkan, pada satu fase pidatonya ada yang menggelengkan kepala, termasuk delegasi Jerman. Ini saat Trump mengatakan Jerman ”bergantung” pada Rusia karena memasok energi ke Jerman.
Dia perlakukan hadirin di PBB seolah-olah mereka pendukungnya.
Hal paling menarik hanya saat kalimat pembukaan yang mengundang tawa itu. ”Dia perlakukan hadirin di PBB seolah-olah mereka pendukungnya,” demikian kurang lebih tulisan di The New York Magazine mengomentari peristiwa yang viral itu.
Wartawan CNN seusai pidato itu bertanya, ”Bagaimana menurut Presiden reaksi tertawaan tadi?” Trump lagi-lagi mudah membuat situasi seolah tidak masalah dengan kalimat, ”It’s great (fantastis).” Trump dikenal tak berpikir terlalu dalam soal makna kata pilihannya, apakah berkorelasi atau tidak dengan fakta, kenyataan atau situasi yang sedang berlangsung.
Mendaulat kesuksesan
CNN mengingatkan bahwa kalimat-kalimat kesuksesan seperti ”Tidak ada pemerintahan sesukses era saya” dan ”Hanya kurang dari dua tahun saya sudah berbuat banyak hal” biasa menjadi jualan politik saat dia berpidato di hadapan pendukungnya.
Dana Milbank, kolumnis rutin di The Washington Post, mengenang kalimat Trump saat kampanye yang pernah menyebutkan dunia sering menertawakan AS. ”Kali ini benar, dia mendapatkan itu,” kata Milbank.
Daniel Larison, editor senior di The American Conservative, menyatakan, ”Citra kebijakan luar negeri AS sudah buruk karena selalu menekankan sukses atas kriteria dan penilaian sendiri. Ini juga akibat sikap terlalu yakin dengan kehebatan sendiri. Kita jadi waswas saat mendengar Trump berbicara lantang tentang isu-isu internasional, apalagi dengan terminologi fanatisme.”
Menjadi waswas tentu bukan karena Trump lantang semata. Lebih dari itu, apa yang dia katakan tidak benar sepenuhnya. Dunia melihat Trump memisahkan anak-anak imigran dari orangtua mereka; menyerang Kanada, Meksiko, China, Uni Eropa, dan lainnya soal perdagangan. Dia mengatakan dunia telah memanfaatkan AS, tetapi dunia tidak mau berbagi pada AS. Trump memindahkan Kedubes AS dari Tel Aviv ke Jerusalem, yang menyulut kemarahan di Timur Tengah.
Dalam kepemimpinannya, Trump telah mengecewakan sekutu karena keluar dari Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), keluar dari perjanjian nuklir soal Iran, serta berseberangan dengan para pemimpin kelompok G-7. China paling banyak merasakan sarkasme Trump. Tidak pas bahwa Trump telah berbuat banyak untuk dunia, bahkan sebaliknya malah mengacaukan relasi AS dengan sekutu sekalipun.
Tentu Trump memuji Arab Saudi, Israel, Polandia, dan Korea Utara. Rusia luput dari serangan Trump meski negara ini mencampuri jauh urusan Suriah dan diduga meracuni mantan mata-mata Rusia yang bermukim di Inggris. Rusia diduga kuat turut membantu kemenangan Trump menjadi presiden.
Selebihnya, banyak fakta yang membuat dunia mengernyit sehingga menertawakan Trump. Trump menyerang Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) dengan mengatakan ICC tidak punya yurisdiksi legitimatif. Dia menjuluki Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) sebagai pemeras dunia.
Reaksi tokoh dunia
Sekjen Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) Jens Stoltenberg dikonfirmasi soal pidato Trump di PBB itu. Dia sangat diplomatis dengan mengatakan aksi Trump soal NATO berbeda dengan apa yang dia katakan di publik.
Stoltenberg memuji fakta bahwa AS lebih aktif berkolaborasi dengan NATO. Hanya soal Iran, Stoltenberg mengatakan AS tidak setuju atas pendapat NATO. Namun, setidaknya ada yang tidak menyatukan NATO dengan Trump, yakni soal Iran.
Presiden Perancis Emmanuel Macron lebuh tajam dan menolak gaya Trump yang mementingkan negaranya, ”America First”. Macron mendesak para pemimpin menolak penonjolan ”hukum dari yang paling berkuasa di dunia” ketimbang hukum internasional.
Kyle Ferrier, analis Korea Economic Institute, mengatakan, kebijakan Trump bersifat antiglobalisasi dan merupakan pandangan dari konservatisme usang.
Ucapan Macron ini merujuk pada AS di bawah Trump yang tidak mengindahkan hukum dunia, tetapi hukum AS, termasuk soal perdagangan. Macron malah meraih aplaus saat menegaskan multilateralisme dan mengecam nasionalisme ”America First”.
Kyle Ferrier, analis Korea Economic Institute, mengatakan, kebijakan Trump bersifat antiglobalisasi dan merupakan pandangan dari konservatisme usang. Dia tidak melihat kolaborasi dunia secara positif. Dan Mahaffee, Wakil Presiden dan Direktur Center for the Study of Congress and the Presidency, mengatakan, pidato Trump malah melihat lembaga-lembaga internasional sebagai ancaman bagi kepentingan AS.
Pakar lain seperti Christopher Galdieri, Asisten Profesor dari Saint Anselm College, mengatakan, Trump tampaknya melihat hubungan internasional dengan pola ”zero-sum”, satu pihak untung, tetapi pihak lain merugi. Padahal, kolaborasi bisa saling menguntungkan dunia.
Mencuri panggung
Douglas Paal, Wakil Presiden Carnegie Endowment for International Peace, mengatakan, pidato Trump adalah semacam kampanye menjelang pemilu pertengahan pada 6 November 2018. Trump berniat menonjolkan sukses luar biasa dengan mencuri panggung besar, Sidang Umum PBB.
Taktik ini membuat Trump apes sebab ruangan di PBB itu menertawakannya. Namun, Trump dibela Dubes AS untuk PBB Nikki Haley. ”Trump mendapatkan tertawaan bukan karena meledek. Trump ditertawai karena hadirin menganggapnya jujur.”
Haley mengatakan, Trump sangat hebat dan berhasil saat berpidato itu. Tahun lalu, ujar Haley, pemerintahan Trump baru tampil pertama kali di PBB dan mencoba menggariskan apa makna keberadaan AS terkait dunia. ”Hari ini kita menorehkan hal besar (bang),” kata Haley soal pidato Trump, yang dia katakan menggelegar.
Tidak demikian kata Daniel B Shapiro, mantan Dubes AS untuk Israel. Dalam pandangan Shapiro, Trump tidak memahami apa yang dia bicarakan, terutama soal patriotisme (America First). (AFP/AP/REUTERS)