Saat Gonta-ganti Pemimpin Jadi Biasa
Pertanyaan banyak orang sesudah pergantian Perdana Menteri Australia pada Jumat (24/8/2018) adalah kapan kebiasaan mengganti pemimpin secara mendadak dalam 10 tahun terakhir ini akan berakhir?
Pergantian perdana menteri dari Malcolm Turnbull ke Scott Morrison yang sebelumnya merupakan bendahara negara (treasurer) terjadi saat ekonomi tumbuh dengan baik, pengangguran berkurang, dan penyelundupan manusia terhenti.
Fenomena gonta-ganti pemimpin yang muncul setelah Kevin Rudd dari Partai Buruh berkuasa pada 2007 membuat setiap perdana menteri tak mampu menyelesaikan masa baktinya. Rudd digantikan oleh Julia Gillard dalam rapat internal partai (leadership spill) kemudian oleh Rudd lagi. Tony Abbott dari Partai Liberal lalu mengalahkan Rudd dalam pemilu 2013.
Ketika itu, Partai Liberal mengatakan bahwa pergantian pemimpin lewat rapat internal partai tak akan terjadi di pemerintahan koalisi (gabungan Partai Liberal dengan Partai Nasional). Namun, ternyata Abbott digantikan oleh Turnbull dalam leadership spill pada 2013. Terbukti penyakit ”revolving door” (pintu yang berputar) atau gonta-ganti pemimpin telah menjangkiti dua partai besar di Australia tersebut.
Krisis kepemimpinan bulan ini dipicu kebuntuan dalam debat soal energi dan pemotongan pajak bagi perusahaan besar. Sebagian kolega Turnbull, sesama anggota partai di parlemen, menolak kebijakannya.
Setelah Morrison serta Menteri Lingkungan dan Energi Josh Frydenberg terpilih sebagai ketua dan wakil ketua Partai Liberal dalam leadership spill hari Jumat itu, orang bertanya lagi, mengapa pergantian pemimpin terjadi padahal dua orang ini adalah arsitek dari kebijakan-kebijakan yang ditolak?
Krisis kepemimpinan telah mencemaskan Partai Nasional, partner Partai Liberal dalam pemerintahan koalisi. Ketua Partai Nasional yang juga Wakil Perdana Menteri Michael McCormack menemui Morrison, Jumat. Sesuai tradisi, pemerintah koalisi menjadikan ketua Partai Nasional sebagai wakil perdana menteri. ”Pembantaian perdana menteri oleh politisi serta media harus dihentikan dan harus berhenti sekarang,” kata McCormack seperti dikutip ABC.
Turnbull menyingkap serba sedikit apa yang terjadi. Dalam pertemuan pers terakhirnya pada Jumat, dia menyebut peran media yang berkolaborasi dengan ”pengacau” di dalam partainya, antara lain Dutton dan Abbott, untuk menjatuhkannya. Editor politik Chris Uhlmann dari Nine Network menunjuk kelompok media News Corp milik Rupert Murdock sebagai pihak yang dimaksud Turnbull.
Masuk akal jika dalam 10 tahun terakhir rakyat muak terhadap politik. Mereka merindukan masa-masa ketika pemerintahan Australia berganti secara teratur.
Morrison langsung menunjuk Frydenberg sebagai bendahara negara yang baru. Ia juga menawarkan jabatan menteri kepada Dutton yang sudah mengundurkan diri sebagai menteri dalam negeri sesudah gagal menjatuhkan Turnbull melalui leadership spill pada Selasa (21/8). Morrison berusaha membangun persatuan dengan merangkul pihak yang sempat ”berseberangan”.
Morrison menetapkan penanggulangan bencana kekeringan sebagai prioritas. Menyulam kembali persatuan di dalam tubuh partainya merupakan tugas utamanya, selain tentunya menyusun pemerintahan baru.
Gejala politik modern
Andrew Hughes dari Australian National University di Canberra mengatakan, semua ini hanya gejala politik modern. ”Bisa dikatakan politik sudah menjadi komoditas dan kita masuk ke politik konsumsi,” kata ahli pemasaran politik itu pada ABC. ”Politik tak hanya dilihat dari perspektif ideologi. Sekarang sepertinya begini, ’Baiklah, pemimpin ini tidak berprestasi, kita buang dan ganti dengan yang baru’.”
Pemimpin politik kini dilihat sebagai brand dan ”produk” bersama ide dan kebijakannya. ”Singkatnya, kita sekarang hidup dari satu kemenangan jangka pendek ke kemenangan jangka pendek berikutnya. Sudah menjadi budaya untuk menang dengan cara apa pun dalam politik sekarang,” kata Hughes.
Sam Roggeveen dari Lowy Institute mengatakan, fenomena revolving door dalam kepemimpinan Australia merupakan gejala di seluruh dunia. ”Di Australia dan juga dunia, struktur sosial yang lama mulai runtuh perlahan-lahan,” ujar Roggeveen pada ABC. ”Semakin sedikit orang menjadi anggota organisasi buruh, semakin sedikit orang pergi ke gereja, misalnya, sehingga kerekatan sosial kian berkurang.”
Menurut dia, partai politik di mana pun harus menemukan kembali jati dirinya saat kompetisi di dalamnya kian tajam dan mereka yang berhasil cenderung lebih bersedia mengambil risiko.