Kehidupan Pengungsi Rohingya di Kamp Bangladesh
Kapten Min Min adalah seorang Buddhis dari Myanmar. Ia sedang melihat warga Muslim Rohingya yang berjalan zig-zag melintasi gang-gang sempit sembari mengangkat karung-karung berisi jahe dari kapalnya ke tanah Bangladesh. Pekerjaan mengangkat karung jahe ini adalah salah satu peluang ekonomi yang bisa dilakukan oleh para pengungsi Rohingya di Bangladesh.
”Saya tidak khawatir tentang konflik ini. Semuanya hanya soal bisnis,” kata Kapten Min Min yang berasal dari suku Rakhine. Dia menawarkan wiski, rokok, dan tersenyum-senyum sambil menunggu muatan barang seberat sembilan ton dalam kapalnya dibongkar.
Distrik Cox\'s Bazar di Bangladesh sekarang menampung sekitar satu juta warga Rohingya dari Myanmar. Sebagian besar di antaranya mengungsi dari Myanmar setahun yang lalu karena menghindari kekerasan yang dilakukan oleh tentara Myanmar dan etnis Rakhine yang menyebut minoritas Muslim Rohingya sebagai warga ”Bengali”.
Kamp-kamp pengungsian etnis Rohingya sekarang berkembang menjadi kota tenda yang tersebar di perbukitan dan lahan pertanian. Kamp-kamp tersebut secara ekonomi menjadi dinamis karena pasokan dana dari para donor dan karena ada ratusan ribu pengungsi yang membutuhkan makanan, tempat tinggal, pekerjaan dan bagi mereka yang mampu membelinya, mereka perlu barang-barang konsumsi.
Selama beberapa generasi, aktivitas perdagangan tersebut telah mengencerkan persaingan etnis dan agama di antara etnis Rakhine, Rohingya, dan Bangladesh. Perdagangan nyaris tidak terganggu meskipun sejumlah desa Rohingya dibakar pada Agustus tahun lalu dan membuat sekitar 700.000 warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh.
Kapten Min Min mengatakan dirinya terus mengirimkan muatan kapal dari Myanmar ke pelabuhan Teknaf. Muatan kapalnya berisi beras, jahe, mi, dan chestnut yang laris dijual di warung-warung kudapan Rohingya.
Masuknya pengungsi ke Bangladesh, menurut teman Kapten Min Min, Thoin Line yang seorang importir beretnis Rakhine, justru baik dari sisi bisnis. ”Etnis Rohingya tangguh. Mereka bekerja siang dan malam, dan upah mereka tidak terlalu tinggi,” kata Thoin Line.
Barisan pekerja warga Rohingya yang basah kuyup muncul dari lambung kapal, masing-masing memanggul dua karung jahe seberat 30 kilogram yang diimpor dari Myanmar.
Untuk itu, mereka memperoleh upah sebesar 300-500 taka (3-6 dollar AS atau Rp 42.000-Rp 84.000) per hari. Itu upah yang layak untuk para pekerja yang secara resmi dilarang bekerja di Bangladesh. Mereka juga terpaksa menyerahkan sebagian dari pendapatan mereka kepada para pemimpin kamp supaya bisa bekerja. Sebagian besar pengungsi tidak memiliki pekerjaan.
Konsumtif
Di kamp utama di Kutupalong, pengusaha Bangladesh, Kamal Hussein (24), berdoa agar hujan. Hussein menjual jasa meminjamkan 50 titik pengisian baterai ponsel yang hanya dilindungi topangan bambu. ”Bisnis berjalan lambat. Hari cerah. Kebanyakan orang memiliki panel surya sehingga mereka tidak membutuhkan jasa kami,” katanya. Bisnisnya akan berjalan lebih baik ketika hujan karena ”panel surya tidak berfungsi”.
Barang-barang konsumen seperti telepon seluler sangat diminati para pengungsi yang telah lama menetap di pengungsian. Mereka menghabiskan gaji dan kiriman uang dari sanak keluarga di luar negeri untuk membeli telepon seluler.
Salesman Kaiser Ahmed mengatakan, sebelum krisis pengungsi Agustus tahun lalu dia hanya bisa menjual lima atau enam telepon seluler seminggu di kamp-kamp pengungsi yang ada. Namun, kini dia bisa menjual sekitar 300 telepon seluler seminggu. Seperti banyak warga Bangladesh lainnya, pendapatan Kaiser Ahmed telah meningkat sejalan dengan krisis pengungsi tersebut.
Banyak toko dengan berbagai aktivitas. Ada yang menyediakan jasa perbaikan dan pegadaian perhiasan-perhiasan etnis Rohingya dan kios-kios yang menjual baju sari. Ada pula toko yang menyediakan tontonan pertandingan sepak bola Liga Inggris secara langsung di TV sekitar pinggiran kamp selama setahun terakhir. Untuk bisa menonton, warga Rohingya harus membayar 30 sen dollar AS (Rp 4.200).
Selain itu, organisasi nirlaba yang beraktivitas di kamp-kamp pengungsi merupakan pembeli terbesar bambu lokal, terpal, beton, panci, wajan, dan selimut, serta mempekerjakan ribuan staf Bangladesh dan Rohingya.
Warga Bangladesh, Mohammad Jashan (26) yang rumahnya di luar Kutupalong, mengatakan, telah memperoleh tiga pekerjaan di organisasi asing dalam 12 bulan terakhir.
Sekarang dia memperoleh penghasilan sebesar 300 dollar AS (Rp 4,2 juta) per bulan untuk badan amal Inggris. Jumlah tersebut lebih tinggi dari rata-rata upah nasional. ”Gaji saya berikutnya akan lebih tinggi karena saya memiliki lebih banyak keterampilan,” kata Jashan bangga.
Namun, warga Bangladesh yang miskin juga mengeluhkan bahwa masuknya warga Rohingya justru menurunkan besaran upah. Tingkat kejahatan, perdagangan narkoba, dan prostitusi makin meningkat. Sementara arus masuk LSM asing telah membuat harga-harga meroket. Para pemilik apartemen, mobil, hotel, dan restoran menjadi lebih kaya. Hal tersebut makin mempertajam kemiskinan warga setempat.
Bahkan, muncul kecemburuan di antara sesama warga Rohingya. ”Setelah para pengungsi baru datang, LSM berfokus pada mereka,” kata Setara Begum, yang lahir di Kutupalong dan merupakan salah satu dari sekitar seperempat juta pengungsi yang tinggal di Bangladesh selama bertahun-tahun.
”Kami hanya mendapatkan ransum dasar sekarang,” kata Begum yang berusia 18 tahun.
Pada Juni lalu, Bank Dunia menawarkan hampir 500.000 miliar dollar AS (Rp 7,3 triliun) dalam bentuk hibah untuk kesehatan, pendidikan, dan sanitasi pengungsi. Tujuannya adalah untuk membantu meringankan beban Bangladesh dan membangun layanan yang juga akan digunakan dan dikelola oleh Bangladesh.
Karena pengungsi tidak mungkin bisa dipulangkan dalam waktu dekat, uang dan pekerjaan adalah cara terbaik agar perdamaian terjaga.
Di sebuah pantai di luar kamp Shamlapur, nelayan Rohingya, Mohammad Hossain, mengatakan telah bekerja selama lebih dari dua dekade, mulai dari menjadi awak kapal hingga menjadi salah satu pemilik dua kapal. Ini adalah pekerjaan yang berbahaya di laut ketika musim hujan tiba.
Namun, ia tidak pernah kekurangan awak kapal yang bersedia menantang ombak. ”Orang Bangladesh takut dengan laut. Tapi, orang Rohingya tinggal di pantai. Kami terbiasa dengan air,” kata Hossain yang berusia 30 tahun. ”Ini pekerjaan berisiko, tapi warga Rohingya di sini tidak bisa melakukan hal lain,” katanya. (AFP)