Korban Tewas akibat Hawa Panas Bisa Meningkat 2.000 Persen
Oleh
Elok Dyah Messwati
·2 menit baca
Jumlah korban tewas akibat hawa panas bisa meningkat hingga 2.000 persen di beberapa bagian dunia pada tahun 2080. Ini merupakan hasil studi atau penelitian yang diterbitkan dalam jurnal onlinePLOS Medicine pada Selasa (31/7/2018).
Jumlah korban tewas bisa meningkat hingga 2000 persen karena sebagian besar belahan bumi utara disapu gelombang panas dengan suhu udara yang luar biasa tinggi. Para ilmuwan telah lama memperingatkan bahwa perubahan iklim akan mengakibatkan cuaca ekstrem di seluruh dunia, mulai dari gelombang panas hingga angin topan.
Para peneliti yang terlibat dalam studi terbaru tersebut mengatakan bahwa jumlah korban tewas akibat gelombang panas yang mereka prediksi itu adalah yang terbesar. Mereka juga memprediksi bahwa gelombang panas akan meningkat frekuensinya dan tingkat keparahannya.
Yuming Guo, profesor di Universitas Monash, Australia, menyatakan, gelombang panas di masa depan, khususnya, akan lebih sering terjadi, dan akan berlangsung lebih lama.
”Jika kita tidak dapat menemukan cara untuk mengurangi hawa panas akibat perubahan iklim dan membantu orang beradaptasi dengan gelombang panas, jumlah kematian akan meningkat di masa depan,” katanya.
Gelombang panas yang menyapu seluruh belahan bumi utara telah menjadi berita utama dalam beberapa pekan terakhir. Puluhan korban tewas di Jepang hingga Kanada.
20 negara
Studi tersebut meneliti 20 negara di empat benua dan menemukan peningkatan angka kematian cenderung paling tinggi di dekat khatulistiwa. Kolombia merupakan negara di Amerika Selatan yang akan paling menderita akibat hawa panas ini. Jumlah kematian meningkat 2.000 persen karena suhu panas yang ekstrem selama periode 2031 hingga 2080 dibandingkan dengan periode 1971 hingga 2010.
Studi tersebut juga mencatat bahwa korban tewas akibat hawa panas di Filipina dan Brasil juga cenderung meningkat. Adapun negara-negara yang terletak lebih jauh dari khatulistiwa, seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, jumlah kematiannya hanya meningkat sedikit.
Menurut penelitian tersebut, meskipun emisi planet bumi telah dibatasi dan populasi meningkat lebih rendah, jumlah kematian akan meningkat akibat hawa panas tersebut.
Selama gelombang panas yang terjadi setidaknya dua hari berturut-turut, tubuh manusia tidak dapat menghilangkan rasa panas tersebut sehingga mereka yang telah lanjut usia berisiko menderita heat stroke.
Mengandalkan data historis, para peneliti menggunakan model iklim untuk memperkirakan suhu di masa depan. Mereka mengatakan bahwa kesimpulan mereka tersebut menyoroti perlunya mengambil langkah saat ini untuk mencegah krisis kesehatan publik di masa depan.
Langkah-langkah untuk mengurangi dampak cuaca panas antara lain dengan membuka ”pusat pendinginan” dan mengecat atap dengan warna putih untuk memantulkan cahaya dan membuat rumah tetap sejuk. (THOMSON REUTERS FOUNDATION)