China dinilai sangat senang dengan hasil pertemuan Amerika Serikat-Korea Utara. Penyebabnya, lewat pertemuan itu, AS merencanakan menghentikan latihan militer dengan Korea Selatan.
Rencana Presiden AS Donald Trump untuk menghentikan latihan rutin militer bersama Korsel mengejutkan banyak kalangan, khususnya tetangga Korut: Korsel dan Jepang. Berbeda dengan Korsel dan Jepang yang khawatir, China sebagai pemain kunci, tetapi berdiri di balik layar, barangkali justru pihak yang paling diuntungkan. Titik kemenangan China terletak pada poin saat Trump mengumumkan rencana menghentikan latihan tersebut.
Bukan hanya itu. Trump juga menyinggung kemungkinan suatu saat nanti menarik 28.000 tentara AS dari Korsel. Selama ini China tak nyaman dengan kehadiran militer AS di Korsel dan Jepang sehingga Beijing mendesak Washington menghentikan latihan militer. China mengusulkan agar ada barter. AS menghentikan latihan militer dan Korut tak lagi melakukan uji coba rudal dan nuklir.
Penasihat kebijakan atas China untuk Dewan Keamanan Nasional AS di era pemerintahan Presiden Barack Obama, Ryan Hass, mengatakan, China berusaha mencari cara agar kekuatan militer asing di Asia Timur berkurang. China juga senang jika jurang pemisah AS dengan negara sekutu melebar.
Di sisi lain, setelah Pemimpin Korut Kim Jong Un bertemu Trump, China juga harus memastikan apakah masih bisa memengaruhi Korut atau tidak. Jika hubungan AS-Korut membaik, kata mantan Direktur China di Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih era Obama dan Presiden George W Bush, Paul Haenle, China paling rugi.
Kim diduga akan segera bertemu Presiden China Xi Jinping dan Xi akan mengingatkan Kim bahwa China bakal membantu pembangunan ekonomi Korut.
Xi dan Kim sudah dua kali bertemu sejak April lalu. Pertemuan mereka dianggap sebagai upaya China untuk memastikan suara Beijing didengarkan Kim ketika bertemu Trump.
Perilaku Kim sempat berubah kepada AS sehingga Trump menuding China sebagai penyebabnya. China lalu buru- buru mendorong keduanya tak membatalkan pertemuan di Singapura.
Manuver seperti itu menunjukkan keseimbangan yang harus dijaga China. Di satu sisi, Beijing perlu mendorong perlucutan nuklir. Di sisi lain, China harus menjaga Korut tak jatuh lebih dalam ke pelukan AS. China yang terlibat Perang Korea untuk mendukung Korut menginginkan Korut yang stabil dan independen sebagai penahan Korsel serta pasukan AS.
Saling butuh
China merupakan sekutu terpenting bagi Korut karena menyediakan energi, bantuan, dan perdagangan sehingga Korut tak terperosok. Namun, hubungan keduanya goyang setelah China mendukung resolusi Dewan Keamanan PBB tentang sanksi terhadap Korut. Dengan sanksi itu, China ikut menghentikan hubungan dagang dengan Korut.
Cheng Xiaohe dari Pusat Studi Internasional di Renmin University, Beijing, menilai Korut tetap membutuhkan China jika negara itu mau mempraktikkan reformasi pasar yang diperkenalkan Deng Xiaoping yang kemudian berhasil mengubah perekonomian China.
Menunjukkan kesetiaan sebagai teman, China telah meminta DK PBB mempertimbangkan pencabutan sanksi terhadap Korut karena Pyongyang menunjukkan komitmen ke arah perlucutan nuklir. Meski masih memberlakukan sanksi terhadap Korut, pakar Korea di Akademi Ilmu Sosial Liaoning, Lu Chao, mengatakan, China sudah mulai kembali menjalin kerja sama ekonomi dan perdagangan.
Namun, China kemungkinan akan lebih berhati-hati dalam menjalin perdagangan dengan Korut karena akan bisa mengganggu perundingan Korut-AS. Direktur Pusat Semenanjung Korea di Peking University Kim Dong-gil mengatakan, China juga ingin Korut memenuhi janji melucuti nuklir sebelum membantu Korut melakukan lobi pencabutan sanksi.
China dipastikan akan mencari cara agar tidak melanggar sanksi, tetapi juga bisa tetap membantu Korut. (AP/LUK)