RIYADH, KAMIS - Arab Saudi membebaskan dua perempuan aktivis pembela hak-hak perempuan, tetapi masih menahan sedikitnya delapan perempuan aktivis lainnya. Penangkapan ini disebut menarget para ikon pergerakan hak-hak perempuan di negara tersebut.
Kelompok-kelompok dan para aktivis hak asasi manusia, Kamis (24/5/2018), mengungkapkan, dua perempuan aktivis yang dibebaskan itu adalah Aisha al-Mana (70) dan Hessah al-Sheikh, profesor di King Saud University, yang menjadi relawan pada lembaga-lembaga amal di Arab Saudi di bidang perempuan dan anak-anak.
Mana dan Sheikh adalah dua tokoh yang lama menjadi pembela hak-hak perempuan di Arab Saudi. Keduanya ikut dalam unjuk rasa pertama tahun 1990 menentang larangan bagi perempuan untuk menyetir kendaraan. Saat itu hampir 50 perempuan ditangkap, paspor mereka disita.
Lembaga Amnesty International, Kamis, menyebutkan, mereka mendapat laporan tentang adanya 11 orang—kebanyakan perempuan—yang ditahan karena mengampanyekan hak perempuan Arab Saudi mengemudikan kendaraan. ”Kami menyambut baik pembebasannya (Mana), tetapi kami masih belum mengetahui keadaan seputar hal itu,” kata Samah Hadid, Direktur Kampenye Amnesty International untuk Timur Tengah.
”Dan kami menyerukan kepada otoritas berwenang agar segera melepas para pembela hak asasi yang lain,” lanjut Hadid.
Penangkapan para aktivis itu justru terjadi hanya sebulan sebelum Pemerintah Arab Saudi memberlakukan aturan baru yang mengizinkan para perempuan mengemudikan mobil. Di mata para aktivis, penangkapan tersebut mengonfirmasi bahwa Pemerintah Arab Saudi tidak mau menjamin demokrasi.
Terkait pembebasan Mana dan Sheikh, pemerintah belum memberikan pernyataan. Amnesty International menambahkan, lima orang lagi yang ditahan pemerintah adalah Eman al-Nafjan, Loujain al-Hathloul, Aziza al-Yousef, Ibrahim Modeimigh, dan Mohammed al-Rabea.
Dicap pengkhianat
Pekan lalu, Pemerintah Arab Saudi mengungkapkan penangkapan tujuh orang dengan dugaan melakukan kontak dengan orang asing dan menawarkan dukungan keuangan kepada ”musuh-musuh di luar”. Pemerintah menyatakan akan mengidentifikasi orang lain yang terlibat.
Media pendukung pemerintah memberitakan, mereka yang ditangkap merupakan pengkhianat dan ”kaki tangan kedutaan-kedutaan asing”.
Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman belakangan menggulirkan perubahan dengan membuat sejumlah kebijakan baru yang lebih terbuka. Penangkapan para aktivis perempuan dipandang sebagai tindakan yang bertentangan dengan reformasi.
Namun, beberapa ahli mengatakan, situasi tersebut sesuai dengan visi dari atas ke bawah yang sudah mengakar di Arab Saudi. Gerald Feierstein, mantan Duta Besar AS di Yaman dan Arab Saudi, mengaku tak terkejut dengan penangkapan tersebut.
”Saat Putra Mahkota Mohammed bin Salman muncul untuk memperluas modernisasi ekonomi dan reformasi sosial, yang disebut Visi 2030, dia mengatakan secara terang-terangan bahwa programnya tak mencakup ruang politik,” kata Feierstein
dari Institut Timur Tengah.
Kristian Coates Ulrichsen dari Institut Baker, Universitas Rice, Texas, Amerika Serikat, mengatakan, langkah tersebut mengingatkan tentang siapa yang berkuasa di Arab Saudi. Itu seperti peringatan yang sangat jelas bagi siapa pun yang tergoda untuk mengkritik pemerintah.