LONDON, RABU - Mata uang dollar AS berkonsolidasi, Rabu (2/5/2018), setelah mencapai level tertingginya dalam kurun waktu 3,5 bulan terakhir. Para pelaku pasar menunggu dan mengantisipasi kebijakan bank sentral AS, The Federal Reserve, sepanjang tahun ini, termasuk rencana menaikkan tingkat suku bunga pinjaman pada bulan depan.
Pasar keuangan berharap tidak ada perubahan kebijakan moneter di AS oleh The Fed dalam pertemuannya tengah pekan ini. Namun, pernyataan The Fed terkait suku bunga dan arah kebijakan lanjutannya ikut menentukan arah perekonomian negeri itu, mata uang dollar AS, dan imbal hasil surat utang US Treasury. Perihal suku bunga acuan, pasar memperkirakan kenaikannya masih akan ada tiga kali kesempatan hingga Januari tahun depan. Pernyataan ataupun komentar The Fed yang mengindikasikan kewaspadaan atas ekonomi AS, baik dalam jangka waktu pendek maupun menengah, berpotensi menahan kenaikan dollar AS.
”Meski kita telah melihat pergerakan dollar AS yang terus naik posisinya dalam beberapa hari terakhir, kondisi-kondisi finansial belumlah terasa diperketat. Hal itu bisa saja terjadi jika kenaikannya berlanjut,” kata Manuel Oliveri, salah satu analis pasar di lembaga Credit Agricole.
Posisi dollar AS melesat melampaui pergerakan 200 hari terakhir pada perdagangan Selasa lalu. Level itu terakhir tercapai pada Mei 2017. Kondisi itu, menurut Morgan Stanley, mau tidak mau membuat para pelaku pasar, termasuk investor institusi, memikirkan kembali posisi dollar AS mereka.
Para pelaku pasar umumnya yakin bahwa The Fed tetap akan mempertahankan besaran suku bunga acuannya. Namun, ada proyeksi sebelumnya bahwa bank sentral AS akan menaikkan tingkat suku bunga pinjaman mulai bulan depan. Hal itu terutama karena merujuk sejumlah data yang menandakan adanya akselerasi atas perekonomian AS.
Data yang ditunggu para pelaku pasar, khususnya pekan ini, adalah data ketenagakerjaan AS. Data itu akan dirilis pada Jumat pekan ini waktu AS. Relatif positifnya proyeksi atas perekonomian AS seiring dengan menurunnya tensi geopolitik seperti di Semenanjung Korea dan kekhawatiran atas perang dagang menjadi katalis positif juga bagi pergerakan dollar AS.
Lembaga Institut bagi Manajemen Pasokan (ISM) dalam survei terbarunya yang dirilis pada Selasa memang menyatakan ada penurunan aktivitas di pabrik-pabrik AS. Namun, dinyatakan terdapat sinyal munculnya tekanan inflasi yang terpengaruh langsung dari berkurangnya pasokan tenaga kerja terampil dan kenaikan harga-harga.
Kenaikan dollar AS mendorong posisi mata uang euro lebih rendah. Euro mengalami penurunan nilai terdalamnya secara mingguan dalam kurun waktu dua bulan terakhir pada pekan lalu. Hal itu sebagai respons langsung atas penurunan perekonomian di zona euro pada triwulan I-2018 sebagaimana telah diproyeksikan sebelumnya.
Para ekonom menyatakan, sejumlah faktor yang bersifat sementara menjadi bagian dari faktor-faktor penekan perekonomian zona euro. Ekonomi ”Benua Biru” diperkirakan tumbuh cukup kuat tahun ini meskipun sejumlah tanda pembalikan arah dari tekanan itu belum cukup meyakinkan. Pada perdagangan Rabu, mata uang euro naik tipis 0,1 persen ke level 1,20 per