PARIS, RABU - Kebebasan pers mendapat ancaman dari Amerika Serikat, Rusia, dan China. Pemimpin tiga negara adidaya ini dinilai memperlakukan pers dengan sikap permusuhan.
Dalam laporan tahunannya yang dirilis pada Rabu (25/4/2018), organisasi Wartawan Lintas Batas (RSF) menyebut tiga negara besar tersebut mengancam kebebasan pers dengan cara mereka masing-masing. Presiden AS Donald Trump secara rutin melancarkan serangan secara pribadi terhadap wartawan.
Presiden China Xi Jinping dinilai melakukannya lewat model pengawasan media yang kini ditiru di sejumlah negara Asia. ”Pemerintah China berupaya membangun orde media baru dunia di bawah pengaruhnya dengan mengekspor metode opresifnya, sistem informasi yang disensor, dan alat pengawasan internet,” ungkap laporan RSF.
Kecenderungan politik populisme dan kemunculan ”orang kuat” di Eropa, yang dipicu oleh Rusia, mengancam kebebasan di wilayah yang dulunya paling aman tersebut. Hongaria, Slowakia, dan Polandia sedang menuju situasi tersebut.
RSF mencontohkan pula aksi Presiden Ceko Milos Zeman saat muncul di jumpa pers dengan senjata Kalashnikov mainan dibarengi pernyataan bagi para wartawan. Adapun bekas Perdana Menteri Slowakia, Robert Fico, menyebut jurnalis sebagai ”pelacur anti-Slovak yang kotor” dan ”anjing hutan idiot”.
”Kebencian terhadap wartawan yang diperlihatkan itu berbahaya dan mengancam demokrasi,” kata Ketua RSF Christophe Deloire. Pemimpin politik yang memanas-manasi kebencian kepada wartawan merusak konsep debat publik berdasarkan fakta-fakta, bukan propaganda,” tambah Deloire.
Dalam laporannya, organisasi ini menyebut Turki sebagai negara paling banyak memenjarakan jurnalis sehingga tercatat sebagai negara paling represif di antara 25 negara. Menurut RSF, ”fobia terhadap media” terungkap secara jelas sehingga wartawan rutin dikenai tuduhan terorisme dan dimasukkan dalam ”kelompok yang tidak setia sehingga dipenjara secara sewenang-wenang”.
Korea Utara masih menjadi negara paling represif, diikuti Eritrea, Turkmenistan, Suriah, dan China. Arab Saudi bersama Bahrain, Vietnam, Sudan, dan Kuba tetap bertahan sebagai negara pelanggar paling buruk di antara 180 negara yang masuk peringkat. Malta anjlok 18 peringkat ke urutan ke-65 setelah pembunuhan terhadap wartawan investigatif Daphne Caruana Galizia. (AFP/RET)