Mungkin Trump Tak Perlu Didengar Lagi
Setelah tergopoh-gopoh meninggalkan kelompok negara-negara Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), mendadak Amerika Serikat kembali berminat memasuki lagi TPP. Dan kali ini tujuan bergabung adalah untuk menguatkan barisan guna melawan China.
Sikap seperti ini sudah tidak pas di dalam dunia yang saling tergantung dan memerlukan kerja sama multilateral dan tidak diskriminatif.
TPP tadinya beranggotakan Australia, Brunei Darussalam, Kanada, Chile, Jepang, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Singapura, Vietnam, dan Amerika Serikat (AS). Saat mulai menjabat Presiden AS di awal 2017, Donald Trump langsung meneken pengunduran diri AS dari TPP dengan alasan kesepakatan perdagangan adalah malapetaka.
Trump pun mencoba merombak kembali Kawasan Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA), beranggotakan AS, Kanada, dan Meksiko. Alasannya sama, NAFTA telah merampas lapangan pekerjaan di AS. Hal ini mendapatkan perlawanan keras dari Kanada dan Meksiko.
Lalu pada hari Kamis (12/4/2018) Trump mendadak berubah dengan mengatakan negosiasi dengan Meksiko bisa berlangsung sampai kapan saja dengan nada membujuk.
Trump juga menggasak mitra-mitra dagangnya yang lain. Sejak akhir 2017 hingga awal 2018, Trump menggasak China, salah satu mitra dagang terbesar AS.
Trump mengancam akan mengenakan tarif impor senilai 100 miliar dollar AS terhadap barang-barang asal China. Dalam perkembangan terakhir, situs US Trades Representative (USTR), yang diketuai Robert Lighthizer, menyebut defisit perdagangan AS terhadap China sudah mencapai 500 miliar dollar AS. Ini jauh di atas angka dari China, yang menunjukkan defisit terhadap AS hanya sekitar 275 miliar dollar AS.
Lebih bagus perdagangan lancar ketimbang bantuan uang dari pemerintah
Namun langkah sok galak Trump itu terbentur-bentur dengan berbagai tindakan balasan China, yang juga mengancam akan menarik investasinya dalam pembelian obligasi terbitan pemerintah AS.
Hal yang turut menakutkan AS terkait ancaman balasan China adalah soal rencana pengenaan tarif impor produk pertanian asal AS, termasuk produk daging. Trump pun buru-buru mencoba menenangkan kelompok petani AS dengan mengatakan akan ada bantuan seandainya terjadi perang dagang AS-China, yang mengorbankan para petani AS.
Sekelompok pihak terkait sektor pertanian di AS yang terancam tarif China menyatakan, para petani lebih menginginkan perdagangan yang mulus. “Lebih bagus perdagangan lancar ketimbang bantuan uang dari pemerintah,” seperti disuarakan Senator Pat Roberts dari Partai Republik.
Para pakar AS juga terus menyerang tekanan Trump terhadap mitra dagang AS. Tarif bukan solusi bagi masalah ekonomi AS dan defisit perdagangan. “Saya belum melihat, sampai sejauh ini, orang yang mengatakan bahwa tarif adalah respons tepat atas masalah utama,” kata Laura D Tyson, ekonom dari Haas School of Business, University of California, Berkeley. Tyson adalah penasihat ekonomi di era Presiden Bill Clinton.
Hal serupa juga dikatakan David Autor, ekonom dari Massachusetts Institute of Technology (MIT). “Saya kira cara pemerintahan tidak taktis mengatasi masalah yang ada,” kata Autor.
Mencoba taktik baru
Tyson dan Autor menegaskan bahwa ada cara lebih efektif dalam menghadapi China. Keberadaan AS di TPP merupakan kekuatan tawar-menawar. Keduanya melihat AS hanya bisa diimbangi dengan kebersatuan negara-negara. “Adalah kesalahan besar bagi pemerintahan untuk keluar dari TPP,” kata Tyson.
Senada dengan itu para senator AS bertemu Trump pada hari Kamis. Delegasi senator mewakili wilayah Iowa, Nebraska, North Dakota, Montana, Kansas, dan South Dakota membahas cara menghadapi China. Dari sini lah muncul pemikiran kembali agar AS kembali bergabung dengan TPP.
Trump pun langsung memerintahkan penasihat ekonominya, Larry Kudlow, untuk mempelajari masuknya kembali AS ke TPP. Hal ini bertujuan menekan China lewat TPP, sekaligus memperluas pasar bagi produk AS. “Bergabung dengan TPP akan menaikkan daya tekan terhadap China,” kata Senator John Hoeven dari North Dakota.
Akan tetapi Asia yang yang dekat dengan China dan daya ekonomi China yang besar harus taktis menghadapi rencana AS. Presiden China Xi Jinping berbicara pada hari Kamis (12/4/2018) di Baoa Forum for Asia, yang berlangsung di Baoa, Provinsi Hainan. Ia menegaskan, kerja sama multilateral dan inklusif adalah cara terbaik dalam rezim perdagangan dunia.
Mantan Menteri Perdagangan RI Mari E Pangestu dan ekonom Australia Peter Drysdale berpendapat, Asia lebih baik menegaskan sistem, salah satunya lewat Organisasi Perdagangan Dunia(WTO). China pun menegaskan lebih menyukai sistem perdagangan multilateral yang diatur WTO.
Menteri Keuangan Jepang Taro Aso langsung menyambar dan setuju dengan rencana AS untuk bergabung kembali dengan TPP. Jepang memang salah satu yang paling takut akan kebesaran China, termasuk kekuatan ekonomi China.
Namun, negara-negara Asia non-Jepang tidak harus terjebak permainan AS yang didukung secara membabi-buta oleh Jepang. Atau mungkin lebih tepat bagi Asia untuk tidak lagi mendengar Trump, yang sikapnya bisa berubah-ubah drastis hanya dalam hitungan hari.
Kerja sama multilateral dan inklusif adalah cara terbaik dalam rezim perdagangan dunia.
Trump adalah Presiden dengan opini dan kebijakan tidak terduga yang selalu berubah-ubah. Sebuah atribut yang tidak layak disandang sosok pemimpin dunia.
Masalah ekonomi AS adalah masalah negara itu sendiri dan tidak harus mengajak negara-negara lain untuk dibenturkan demi kepentingan ekonomi AS. Asia jangan memilih China atau AS tetapi memilih keduanya dan menuntut keduanya untuk akur lewat negosiasi. (AP/AFP/REUTERS)