Indonesia Bisa Berperan Atasi Kemelut Global
Bisakah Indonesia menggantikan China untuk mengekspor baja ke AS? Ini sehubungan dengan rencana AS mengenakan tarif tambahan atas 60 miliar dollar AS (Rp 825 triliun) impor AS dari China. Tarif tambahan ini termasuk untuk produk baja. Jawaban atas pertanyaan ini, tidak bisa dan tidak mungkin!
Indonesia mengimpor baja lebih banyak ketimbang mengekspornya. Impor baja Indonesia pada 2016 senilai 6,96 miliar dollar AS (Rp 95,7 triliun) dan nilai ekspor 2,19 miliar dollar AS (Rp 30 triliun).
Total nilai impor baja AS adalah 29,06 miliar dollar AS (Rp 398 triliun) pada 2016. Indonesia tidak akan bisa memasok sebagian dari jumlah itu. Indonesia juga termasuk yang diteliti AS soal ekspor lembaran bajanya.
Pertanyaan berikutnya, bisakah Indonesia mengekspor produk pertanian ke China? Ini sehubungan dengan balasan China yang berencana mengenakan tarif produk pertanian asal AS. Jawabannya sama saja, tidak.
Sebuah ironi, Indonesia yang dipersepsikan negara pertanian bukan saja tak mampu mengekspor komoditas pertanian dalam jumlah signifikan, tetapi Indonesia justru mengimpor sebagian kebutuhan buah-buahan dan sayur-mayur.
Mirip teriakan di gurun
Mengapa Indonesia tidak bisa? ”Hal paling mendasar kembali pada posisi daya saing internasional kita,” kata Anton J Supit, salah satu Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia. Daya saing Indonesia ada di urutan ke-36 menurut World Competitivenes Report 2017-2018 yang diluncurkan Forum Ekonomi Dunia.
Peringkat Indonesia membaik, tetapi tidak cukup signifikan untuk menjadikannya sebagai negara pedagang. Jangankan negara pedagang, Indonesia belum dipandang sebagai basis manufaktur global yang solid.
Untuk meraih posisi sebagai basis manufaktur favorit dunia, kembali lagi ke isu lama. ”Iklim investasi harus cemerlang. Kemampuan bersaing harus tinggi karena globalisasi menghadirkan para pesaing dan melahirkan persaingan kuat,” kata Anton.
Untuk menjadi basis manufaktur yang kuat, diperlukan para vendor yang andal. Basis manufaktur mengharuskan adanya perusahaan berkualitas dan terandalkan dalam hal global supply chain (jaringan pasokan global). Untuk itu, diperlukan birokrasi probisnis, sistem perkreditan yang mendukung, dan paham bisnis global.
Menjadi basis manufaktur solid juga otomatis menjadi negara andal dalam ekspor. Semua ini dengan sendirinya akan menyerap pekerja.
”Untuk itu semua diperlukan strategi besar. Kita sudah lama meneriakkan agar lembaga seperti Peningkatan Ekspor Pengendalian Impor diberdayakan,” ujar Anton. Teriakan seperti ini mirip teriakan orang di gurun, tidak ada yang mendengar.
Inilah alasan mengapa Indonesia tidak akan bisa memanfaatkan kesempatan dari kemelut perang dagang China-AS.
Malah bisa jadi sasaran
Indonesia sejak lama tidak berpikir serius menjadikan dirinya sebagai negara pedagang. Maka, dalam kemelut perang dagang, Indonesia malah berpotensi menjadi korban.
”Pasti terjadi, kita jadi sasaran pasar bagi ekspor China,” kata Sofjan Wanandi, seorang pengusaha. Dengan kata lain, ekspor China yang dihambat masuk AS mencari pelimpahan pasar, salah satunya ke Indonesia.
Negara-negara yang berpotensi memasuki pasar AS jika China dihambat adalah Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Filipina. ”Negara-negara ini lebih kompetitif memasuki AS dan lebih berpotensi menggantikan peran China sebagai eksportir ke AS,” lanjut Sofjan.
Keterbelakangan Indonesia dalam hal persaingan global sedikitnya terpengaruh juga oleh hiruk-pikuk politik domestik. Negara terlalu sibuk membahas politik hingga lupa memperbaiki daya saing.
Akan tetapi, tidak ada kata terlambat memperbaiki perekonomian dan meningkatkan daya saing. Sembari mulai lebih serius menjadikan diri sebagai negara pedagang, Indonesia memiliki celah. Indonesia bisa berperan sebagai katalisator mencegah perang dagang global lewat ASEAN.
Netralitas menjadi kelebihan ASEAN dalam forum-forum global, khususnya forum ASEAN-China, ASEAN-Jepang, hingga ASEAN-Australia. Kebesaran ASEAN menjadikannya seperti rebutan untuk menjadi mitra dari para pemain besar di dunia.
Upaya mempertahankan rezim perdagangan global dan penegakan peran Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) adalah cara terbaik.
Semangat kuat ASEAN mendorong dan menegakkan rezim perdagangan bebas dan tidak diskriminatif menjadi penguat pamor ASEAN. Dan, ”ASEAN harus menjadi benteng perdagangan bebas”, demikian artikel yang ditulis mantan Menteri Perdagangan Mari Pangestu bersama Peter Drysdale di harian Australian Financial Review, 14 Maret. Drysdale adalah profesor dari The Australian National University.
Kepada Kompas, Mari menekankan agar rezim perdagangan bebas tetap dipertahankan. ”Saya lebih cenderung pada penguatan sistem,” kata Mari. Hal ini dia utarakan terkait pengenaan tarif impor baja oleh Presiden AS Donald Trump kecuali terhadap Kanada, Meksiko, dan Australia. Tindakan Trump jelas diskriminatif.
Bangsa-bangsa harus bersaing secara bebas dan menghindari asas diskriminasi. Hanya dengan inilah akan muncul yang dinamakan trade creation, yakni marak dan meluasnya perdagangan global.
Memberi preferensi kepada negara-negara tertentu, di sisi lain menghambat negara lain. Ini bisa dipastikan tidak menghasilkan efek maksimal dari keberadaan rezim perdagangan internasional.
Perdagangan global akan memberikan manfaat maksimal jika semua negara terlibat secara merata dan sesuai dengan kemampuannya bersaing. Hal inilah yang diperjuangkan ASEAN bersama Australia sejak 1974, demikian Mari dan Drysdale dalam artikelnya tersebut.
Tujuan dari artikel itu adalah menentang diskriminasi ala Trump. Keduanya juga mengkritik tindakan balasan dari Eropa terhadap AS, yang hanya akan mengobarkan perang dagang. ”Tindakan bodoh dibalas secara bodoh pula,” demikian bagian lain dari artikel itu.
Dikatakan bodoh sebab efeknya adalah penyusutan omzet perdagangan dan dengan sendirinya penyusutan aktivitas perekonomian global.
Maka dari itu, kata Mari Pangestu, upaya mempertahankan rezim perdagangan global dan penegakan peran Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) adalah cara terbaik. ”Dan, ASEAN terkenal sebagai pionir dalam hal ini,” lanjut Mari.
Ini lebih baik ketimbang setiap negara memohon pengecualian dari aksi AS agar tidak dikenai tarif.
Pemimpin di ASEAN
Dengan sejarah ASEAN yang gencar menyuarakan rezim perdagangan internasional, tentu kembali lagi pada profil ASEAN, yang terdiri atas 10 negara. Indonesia pernah menjadi pemimpin de facto ASEAN karena faktor luas wilayah, jumlah penduduk, dan potensi besar ekonomi.
Indonesia agaknya mengecewakan banyak pihak karena belum berhasil maksimal menjalankan peran de facto-nya. Sejak era Reformasi dan kemudian karena permasalahan domestik, pamor Indonesia memudar sementara.
Ke depan, dengan pertumbuhan ekonomi didukung pemerintahan yang baik, diikuti perkembangan ekonomi, dengan sendirinya Indonesia akan meraih peran sebagai pemimpin ASEAN. Dan, ASEAN diharapkan tetap kukuh sebagai tameng bagi rezim perdagangan bebas.
Dengan demikian, dunia tidak semata diisi dengan hiruk-pikuk hubungan AS-China. Indonesia dan ASEAN mampu menjadi katalisator serta penengah dalam kemelut, kali ini kemelut perang dagang.