Momentum Memperluas Paham Moderasi
Dengan arahan Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman, Arab Saudi terus menunjukkan wajah moderat. Konser musik hingga peragaan busana yang pernah terlarang selama puluhan tahun di sana kini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, Arab Saudi—pusat sejarah dan sentra umat Islam sedunia yang kerap dijadikan contoh sikap tekstual dalam beragama—menemukan titik moderasi pada Islam wasathiyah atau Islam moderat yang sangat diperlukan di dunia Islam pada era modern abad ke-21.
”Dampaknya tentu positif, baik bagi Saudi sendiri maupun bagi dunia Islam, khususnya di Timur Tengah yang selama ini sering dikonstruksi sebagai pusat Wahabi atau berhaluan keras,” ujar Haedar.
Muslim Indonesia, yang selama ini di garda depan menampilkan Islam moderat, perlu ikut memperluas proses perubahan di Arab Saudi ke negara-negara lain. Hal itu agar moderasi menjadi arus yang kian luas. Diharapkan, situasi di Arab Saudi saat ini memperkuat moderasi di Timur Tengah. Muslim di kawasan lain, yang selama ini mencontoh Arab Saudi dalam hal-hal verbal dan literal, perlu mengubah orientasi ke arah moderat.
Menurut Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Marsudi Syuhud, Arab Saudi baru mulai mempraktikkan hal yang sudah sangat lama diterapkan Indonesia. Tidak perlu menyalahkan arus baru yang tengah didorong putra mahkota Arab Saudi itu.
Perubahan di Arab Saudi justru sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW. ”Sekarang orang menyebutnya moderat. Dahulu Nabi mengajarkan tawasuth, sikap di tengah-tengah. Tidak ekstrem kanan atau tengah,” ujar Marsudi.
Sikap tawasuth akan melahirkan tawazun atau keseimbangan dan tasamuh atau toleransi. Sikap toleransi tidak hanya kepada non-Muslim. Toleransi juga harus ditunjukkan kepada sesama Muslim yang berpikiran berbeda. ”Firqah-firqah (golongan-golongan) banyak, tidak perlu (ada yang) merasa paling benar,” tambahnya.
”Liberalisasi, kalau bisa dibilang begitu, di Saudi biasanya diiringi dengan semangat keterbukaan, transparansi, dan menghargai HAM. Momentum itu tepat bagi Indonesia mendorong kerja sama untuk memastikan keamanan dan kenyamanan jemaah haji dan umrah, serta memastikan jaminan para pekerja migran,” tutur Virtuous Setyaka, pengajar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Andalas, Padang.
Indonesia juga bisa memanfaatkan momentum itu untuk memperkuat kerja sama keamanan, khususnya kontraterorisme.
Nuansa politik-ekonomi
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengingatkan, perubahan kebijakan di Arab Saudi lebih kuat nuansa politik dan ekonomi dibandingkan dengan nuansa keagamaan. Arab Saudi sangat dirugikan akibat berbagai aksi oleh kelompok Wahabi, salah satunya berupa citra buruk Arab Saudi di dunia internasional.
Citra buruk itu berdampak pada ekonomi yang semakin memburuk. Dalam jangka panjang, Arab Saudi tidak bisa lagi menggantungkan pendapatan negara pada minyak. Negara itu harus mencari alternatif ekonomi, salah satunya melalui pariwisata dan mencoba menarik investor.
Corak keberagamaan di Arab Saudi yang ultrakonservatif membuat banyak wisatawan memilih berkunjung ke negara-negara Arab yang lebih terbuka, seperti Uni Emirat Arab dan Qatar. Arab Saudi harus membuka diri agar lebih banyak pelancong dan investor datang.
Abdul Mu’ti mengatakan, Arab Saudi tetap penting bagi Indonesia. Bahkan, sesungguhnya Arab Saudi lebih berkepentingan dengan Indonesia. ”Indonesia berpenduduk Muslim terbanyak sehingga menjadi negara asal jemaah haji dan umrah terbesar. Nilai ekonomi dari ibadah itu sangat besar,” ujarnya.
Indonesia juga menjadi primadona bagi penyedia pekerja domestik. Saat Indonesia memberlakukan moratorium pengiriman pekerja domestik ke Timur Tengah, Arab Saudi sangat terdampak oleh kebijakan itu.
Abdul Mu’ti menambahkan, pengaruh keagamaan Arab Saudi terhadap Indonesia tidak terlalu kuat. Walaupun mendirikan dan membantu lembaga-lembaga pendidikan yang berafiliasi kepada paham Wahabi, karakter Islam Indonesia lebih dipengaruhi paham Ahlussunah: teologi Asy’ari dan fikih mazhab Syafii. Kebijakan (mendorong moderasi) itu juga tidak akan berdampak dalam waktu dekat karena struktur dan kultur Wahabi sudah terlalu kuat. Perubahan kebijakan yang frontal justru berpotensi menimbulkan gejolak politik domestik yang memengaruhi keamanan jemaah haji dan umrah Indonesia.
(RAZ)