Trump, Facebook, dan Fenomena Gunung Es
Bagaimana mengenali hingga memengaruhi jutaan warga agar memilih politisi tertentu? Itulah premis dasar di balik skandal Cambridge Analytica. Perusahaan ini mengambil dan menganalisis 60 juta akun Facebook, khususnya milik warga AS, untuk kemenangan Presiden Donald Trump.
Dari sini, isu berkembang pada kemenangan politisi dengan cara yang tidak etis, pengacauan proses demokrasi, hingga penyalahgunaan data privat. Skandal Cambridge Analytica yang mendadak mendunia itu menghasilkan fenomena gunung es. Terjadi aksi saling bantah dan membuat semuanya menjadi serasa buram mirip benang kusut.
Untungnya ada Christopher Wylie, warga Kanada si pembocor rahasia tentang sepak terjang Cambridge, seperti diberitakan The Guardian, 17 Maret. Wylie seorang periset psikologi sosial yang dekat dengan para pendukung kampanye Presiden Barack Obama.
Wylie akan berbicara segera soal ini di intel DPR AS, yang sedang mendalami kisruh di balik kemenangan Trump. Wylie menuturkan kisah mulai 2013.
Saat itu dia bertemu Alexander Nix, seorang konsultan politik untuk pemenangan kandidat untuk pemilu, baik lokal maupun nasional. Nix sudah lama terlibat tugas serupa itu di banyak negara.
Singkatnya, Wylie dan Nix berpengalaman soal pemenangan pemilu. Mereka kemudian bertemu Steve Bannon, pakar kampanye Trump, walau kemudian dibuang. Pertemuan terkait keahlian mereka soal pengerahan massa lewat berbagai cara.
Wylie menjuluki Bannon si kulit putih yang sedang geram—kesannya saat bertemu pertama kali. Tiga orang ini kemudian bertemu Robert Mercer, warga kaya AS. Mercer seorang konservatif yang juga sayap kanan, pendukung Tea Party. Mercer berafiliasi dengan Republiken AS.
Mercer juga dekat dengan Koch Brothers, keluarga kaya AS dan pendukung Trump. Mereka mendukung kelompok sayap kanan, seperti diberitakan media Inggris The Observer, 4 Desember 2017.
Cambridge Analytica berdiri
Dari pertemuan ini kemudian berdirilah perusahaan konsultan bernama Cambridge Analytica, terdaftar di Delaware, AS, tetapi bermarkas dan dikendalikan dari Inggris. Perusahaan berdiri atas pembiayaan dari Mercer, dan Bannon menjadi salah satu eksekutif utama.
Wylie dan Nix menjadi ahli penambang dan penganalisis data di perusahaan. Untuk tugas ini, mereka membutuhkan pakar psikologi. Didapatkanlah jasa pengajar psikologi dari Universitas Cambridge, Inggris, Aleksandr Kogan.
Kogan bisa memetakan profil para pemilih untuk dipengaruhi tanpa mereka sadari dan diarahkan ke kandidat tertentu dalam pemilu. Tawaran kerja sama dari Cambridge Analytica sempat diarahkan pada universitas itu, tetapi menolak. Akan tetapi, di sana ada Aleksandr Kogan, warga AS kelahiran Rusia, psikolog peneliti.
Peran Kogan penting. Dia psikolog yang bisa memetakan dan memahami preferensi warga pemilih dengan membaca data yang didapat dari akun di media sosial. Peran ini diperlukan untuk membuat iklan politik agar tepat sasaran dan mampu membuat pemilih mencoblos kandidat dukungan.
Tugas awal adalah pemenangan Senator AS asal Texas, Ted Cruz, menuju presiden AS. Nix pernah membantu pemilihan pendahuluan untuk Ben Carson, politisi Republiken yang kini menjabat Menteri Perumahan dan Pembangunan Perkotaan AS.
Cruz dan Carson berhasil memasuki rangkaian babak pemilihan pendahuluan. Reputasi Cambridge Analytica terdengar. Saat ini Trump belum masuk radar pemilu AS 2016. Dalam perjalanannya, Trump melejit sebagai kandidat terdepan Republiken. Hal ini membawa perusahaan memfokuskan dukungan kepada Trump, yang kemudian menang.
Kemenangan ini kontroversial sebab Trump kalah jumlah suara populer sebanyak 3 juta dari Hillary Clinton. Hanya saja, Trump menang berdasarkan electoral college, yang bisa dikatakan pemilu proporsional.
Ketahuan kemudian, Cambridge Analytica turut berperan dalam kemenangan itu dengan kemampuan memetakan profil pemilih di daerah Republiken. Hal ini termasuk diterapkan di daerah Demokrat yang masih bimbang tentang pilihan mereka.
Kontroversi mencuat
Kontroversi internal soal jasa Cambridge Analytica sebenarnya sudah pernah terjadi, tetapi tidak mendunia. Kontroversi itu antara lain tentang peran Cambridge Analytica yang bukan ditangani warga AS atau pemegang kartu hijau AS, tetapi warga Kanada dan Eropa. Berdasarkan hukum di AS, pihak asing dilarang berperan dalam proses pemilu AS.
Urusan etika itu belakangan, pokoknya menang.
Pada Juli 2014, Laurence Levy, seorang pengacara terkait pemilu AS dari firma hukum Bracewell & Giuliani, sudah mengingatkan Nix dan jajarannya. Hal ini diabaikan. ”Bagi mereka, ini adalah perang,” kata Wylie.
Urusan etika itu belakangan, pokoknya menang. Hal ini tidak menggelegar hingga ketahuan bahwa Kogan ternyata menggunakan 50 juta-60 juta akun Facebook milik warga AS. Muncullah kehebohan dan pertanyaan, mengapa Facebook rela atau tega mengompromikan data para penggunanya.
Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, berdiam diri selama beberapa hari sejak kasus itu mencuat. ”Saya selama beberapa hari memanfaatkan waktu untuk benar-benar memahami masalah atas apa yang sedang terjadi,” kata Zuckerberg kepada The New York Times, 21 Maret.
Sebelumnya Facebook selalu membantah telah memberikan data. ”Melindungi informasi pengguna adalah inti layanan kami. Tidak ada infiltrasi pada sistem, tidak ada kata sandi atau informasi sensitif yang dicuri atau diretas,” kata Wakil Presiden Facebook Paul Grewal.
Zuckerberg yang juga berbicara kepada CNN mengakui ada masalah dalam penanganan privasi dan penggunaan data oleh pihak ketiga. Zuckerberg mengatakan, Facebook sedang melakukan analisis forensik digital. Hal ini dilakukan untuk melacak kebocoran data yang kemudian menjadi dasar tindakan menjamin keamanan para pengguna.
Facebook sebelumnya punya alasan bahwa data para pengguna dilindungi, tetapi mungkin tanpa sadar telah dipakai relasi bisnis Facebook, termasuk pemasang aplikasi lewat Facebook. Sandy Parakilas, mantan pekerja di Facebook, kepada harian The Guardian, 21 Maret, mengatakan sudah pernah memperingatkan Facebook.
Parakilas melihat potensi pemanfaatan data pengguna Facebook oleh pihak ketiga. Parakilas meninggalkan perusahaan pada 2012 karena tidak didengar soal upaya pengamanan data secara saksama.
Kogan meraih data dari jutaan akun lewat aplikasi buatannya sendiri bernama ”thisisyourdigitallife”. Aplikasi ini sudah dibuang oleh Facebook. Ini adalah aplikasi dengan kedok riset kepribadian.
Namun, lewat aplikasi ini, Kogan berhasil menyedot data 270.000 orang yang mengunduh aplikasi tersebut. Kogan untuk kepentingan Cambridge Analytica berhasil meraih data lebih banyak lewat 270.000 orang, yang punya ”friends” dan jaringan sosial di Fcebook.
”Kadang pesan pribadi pemilik juga dimasuki,” kata Wylie, yang mengaku menyesal pernah terlibat dalam tugas itu. ”Untuk itulah saya bicara dengan Anda, untuk menjelaskan apa yang terjadi,” kata Wylie seperti diberitakan The Guardian, 17 Maret.
Peniup peluit atau pembocor rahasia soal Cambridge Analytica bukan saja Wylie, melainkan juga para orang muda yang condong liberal. Banyak dari tenaga tersebut kemudian meninggalkan Cambridge Anaylitica dan berbicara kepada publik.
Jawaban Putin
Dari kasus ini, masuk akal juga ucapan Presiden Rusia Vladimir Putin, yang membantah pernah mencampuri pemilu AS. Dalam wawancara dengan Megan Kelly dari CNBC, Putin mengatakan, mungkin saja ada kelompok-kelompok pendukung Trump yang terlibat.
”Bahkan, mungkin mereka bukan Rusia, melainkan Ukraina, Tatar, Yahudi dengan kewarganegaraan Rusia. Itu perlu dicek. Atau mungkin mereka pemegang kartu hijau AS. Mungkin juga mereka warga AS yang dibayar untuk tugas ini. Bagaimana kamu tahu? Saya tidak tahu,” tutur Putin dalam wawancara dengan Megan Kelly dari televisi NBC, 10 Maret.
Hanya saja, jaringan Rusia tidak bisa diabaikan mengingat Kogan adalah kelahiran Moldova dan tujuh tahun pertama dalam hidupnya berada di Moskwa. Kogan kemudian mengalami naturalisasi menjadi warga AS.
Hal ini semua sedang dalam penelitian lewat sebuah badan khusus di AS. Perangai Presiden Donald Trump cenderung berpihak kepada Putin, termasuk terakhir ucapan selamat yang dia arahkan kepada Putin yang baru menang pemilu.
Para pelanduk
Dari kasus ini, hal yang terlihat baru sebatas aksi saling bantah dan saling serang di antara mereka yang dulu terlibat dalam proyek Analytica Cambridge. Para pelanduk saling tuding, saling bantah.
Kogan mengatakan, dirinya tampaknya telah menjadi ”kambing hitam” atas kontroversi pemanfaatan data Facebook. Kogan mengatakan, segala hal yang dia lakukan adalah legal karena mendapatkan mandat untuk penggunaan data tersebut.
Cambridge Analytica juga menyebutkan, segala ucapan Wilye tidak benar. Alexander Nix juga menegaskan, tidak ada yang salah dalam tugasnya, semuanya legal. Tentu tidak legal menggunakan data para pengguna akun-akun, kata Sam Lester dari EPIC.
Selain menggunakan akun-akun Facebook, Cambridge Analytica juga memakai data Partai Republik. Alexander Nix mengaku memasang iklan dengan menargetkan pemilih lewat Facebook.
Pihak dari Facebook pada Oktober lalu mengatakan, kelompok asal Rusia menggunakan media sosial ini untuk memengaruhi proses pemilu di AS. Kepada BBC Newsnight, 21 Maret, Nix menyatakan sedikit rasa penyesalan atas apa yang pernah terjadi dalam tugasnya terkait Cambridge Analytica.
Lalu, apa peran Mercer dan Bannon? Ini tidak tersorot meluas. Hal yang diketahui, Mercer adalah pendana Cambridge Analytica seperti diberitakan harian The New York Times, 19 Maret. Rebekah Mercer, putrinya, adalah anggota Dewan Direksi Cambridge Analytica, menurut harian itu.
Bannon, ahli strategi untuk Republiken AS ini, adalah pihak yang mengawasi, menyetujui, bahkan meneken segala sepak terjang Cambridge Analytica, seperti dituliskan harian The Washington Post, 21 Maret. Jawabannya mengelak perannya lebih dalam di Cambridge Analytica dan lebih memilih menyerang Facebook.
”Data Anda, termasuk di seluruh dunia, didapatkan Facebook secara gratis,” kata Bannon di tengah sebuah konferensi di New York, Kamis (22/3).
Dari situ, kata Bannon, Facebook memonetisasi alias mendapatkan nilai ekonomi dengan memanfaatkannya kepada pihak ketiga. Itu sebabnya Facebook mendapatkan untung besar dan memiliki harga saham yang tinggi.
”Anda, kok, tidak mengajukan pertanyaan lebih menohok terkait itu kepada Zuckerberg,” ujar Bannon. Ini jawaban yang sangat masuk akal juga.
Melebar ke mana-mana
Kasus ini melebar hingga ke mana-mana. Terungkap juga Alexander Nix, warga Inggris, dalam tugas-tugasnya menggunakan cara-cara tidak senonoh untuk menjungkalkan pesaing dalam pemilu, termasuk penggunaan jasa mata-mata kaliber dunia.
Hal lain yang juga dilakukan adalah pembunuhan karakter, termasuk lewat penggunaan para perempuan untuk menjatuhkan kandidat, pesaing dari kandidat yang dia bantu. Hal ini dibantah Alexander walau ucapannya itu muncul di Channel 4, berbasis di Inggris.
Ketahuan juga bahwa Cambridge Analytica turut membantu referendum ”leave Europe” (tinggalkan Uni Eropa). Ada ucapan selamat oleh Trump setelah Inggris keluar dari Eropa, yang dikenal dengan Brexit.
Maka, tidak salah parlemen Inggris dan AS akan memanggil Cambridge Analytica hingga Facebook untuk didapatkan kesaksian langsung dan tidak boleh lewat pengacara. Zuckerberg menyatakan bersedia.
Kisah ini semakin mengkristal setelah bermunculan di media, terutama harian The Guardian dan The New York Times edisi 17 Maret. Dalam beberapa hari terakhir terus melebar hingga ke televisi CNN, Forbes, dan media internasional lain.
Menambah keruwetan, orang-orang Trump membantah jika Cambridge Analytica berperan memenangkan Trump. Paul Manafort, yang dulu ketua kampanye Trump, menepis manfaat data Cambridge Analytica di balik kemenangan Trump pada CNN 20 Maret.
Namun, dari kasus ini, Hillary Clinton kembali bersuara bahwa ada upaya di balik kekalahannya. Kebencian kelompok sayap kanan kepada Demokrat, keinginan Rusia memenangkan Trump menjadi isu yang mencuat menjelang hingga usai pemilu presiden AS tahun 2016. Hal ini termasuk bagian dari tugas Cambridge Analytica di samping peran besar para pendukung fanatik Trump.
Jullian Assange, pendiri WikiLeaks, juga mengakui pernah mendapatkan permohonan dari Cambridge Analytica untuk peretasan surat elektronik Hillary. Permohonan ini dia tolak. Assange bersedia membeberkan hal tersebut kepada parlemen Inggris. (AFP/AP/REUTERS)