Langkah China Bakal Menentukan
Total produksi baja China sepanjang 2017 mencapai 878,37 juta ton, meningkat sekitar 5,7 persen dibandingkan dengan periode yang sama setahun sebelumnya. Kenaikan itu lebih tinggi daripada kenaikan tahun sebelumnya, yakni sekitar 1,2 persen.
Merujuk data Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional China, dengan total produksi tahun lalu, angka produksi baja China besarnya lebih dari tujuh kali produksi baja Jepang. Pemerintah China menyatakan, tahun lalu kapasitas produksi baja asal negara itu sudah dikurangi hingga 30 juta ton. Angka 30 juta ton itu saja setara dengan produksi Brasil, produsen baja terbesar kesembilan di pasar global.
Dengan tingkat produksi raksasa, langkah apa pun yang diambil China untuk merespons kebijakan penerapan tarif impor oleh Amerika Serikat atas baja dan aluminium bakal menentukan. Tidak saja terhadap perdagangan komoditas-komoditas tertentu satu per satu, tetapi juga sistem perdagangan secara global.
Kondisi yang sama terjadi dalam komoditas aluminium. Dengan produksi aluminium China 36 juta ton pada tahun lalu, jumlah itu memang jauh lebih kecil daripada produksi baja. Namun, produsen-produsen aluminium di luar China menyatakan efek murahnya produk impor asal negara itu juga menyakitkan.
Ekspor baja China tahun lalu sudah turun sekitar 30 persen per tahun menjadi 63 juta ton. Namun, volume itu tetap mencapai seperempat dari total ekspor global. Angka 63 juta ton itu juga lebih dari dua kali volume ekspor asal Jepang.
Beijing memang telah menutup pabrik-pabrik baja sehingga mengurangi 1 juta lapangan kerja. Namun, kondisi itu nyata-nyata tidak dapat mengurangi kemarahan AS dan Eropa atas membanjirnya produk ekspor baja dan aluminium China ke pasaran. Akibat naiknya suplai, harga kedua produk itu turun.
Tujuan Beijing dengan langkah-langkah yang diambil itu membuat industrinya semakin efisien dengan tingkat margin keuntungan lebih besar. Dengan demikian, penutupan pabrik tidak akan menekan tingkat produksi. Meski pabrikpabrik kecil ditutup, produktivitas pabrik yang lebih besar akan meningkat dan mampu memenangi persaingan dengan kompetitor-kompetitor di tingkat global.
Atas kondisi-kondisi di atas, termasuk keluhan dari negaranegara lain, Beijing berupaya meredakan ancaman dari sanksi-sanksi perdagangan, antara lain melalui forum G-20. Namun, tidak ada komitmen yang bersifat mengikat dalam kesepakatan-kesepakatan.
Mitra selain China
Kebijakan pengenaan tarif impor oleh AS dinilai justru akan lebih merugikan mitramitra dagang AS lainnya, seperti Jepang dan Korea Selatan. Hal itu kian menyakitkan karena sebelumnya mereka sudah terhantam di pasar oleh produk-produk China.
Data Komisi Perdagangan Internasional AS menunjukkan, AS membeli baja asal China hanya sekitar 1,1 persen. Adapun baja Korsel dan Jepang yang diserap pasar AS mencapai 12 persen serta 5 persen.
Menteri Ekonomi Jerman Brigitte Zypries mendesak Eropa bersatu guna merespons kebijakan AS di bawah Presiden Donald Trump atas baja dan aluminium itu. Eropa dinilai juga perlu bersikap atas Beijing yang menilai kebijakan AS itu dapat mengganggu sistem perdagangan internasional.
Zypries berpendapat, Eropa perlu menghindari tawaran-tawaran Trump sebagaimana diajukan pada dan diterima Meksiko, Kanada, dan Australia. Eropa merupakan eksportir baja terbesar ke AS dengan volume mencapai 5 juta ton per tahun.
(AP/REUTERS/BEN)