Kepada Vanity Fair, 14 April 2017, Jared Kushner, menantu Presiden AS Donald Trump, mengatakan, demi kepentingan kampanye, dia diperintahkan oleh mertuanya untuk mencari informasi mengenai China. Hal ini dilakukan terkait dengan defisit perdagangan yang dialami oleh AS. Terhadap China saja, pada 2017, AS mengalami defisit perdagangan sebesar 375 miliar dollar AS.
Andy Rothman, ahli investasi dari Matthews Asia, mengatakan, orang-orang tidak melihat banyaknya kesuksesan perusahaan AS di China (Xinhua, 15 Februari 2018). ”GM menjual mobil lebih banyak di China ketimbang di AS. Boeing menjual lebih banyak pesawat di China ketimbang di AS, sementara setengah komoditas biji-bijian AS kini dijual di China,” ujarnya.
Ekspor AS ke China naik 500 persen sejak 2001, saat China bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). China juga menjadi pemasok pinjaman lebih dari 1 triliun dollar AS ke pemerintahan AS.
Lepas dari itu, guna menindaklanjuti perintah mertuanya, Kushner menjelajahi toko buku daring terbesar di dunia, Amazon.com, dan menemukan Death by China. Navarro lalu diundang dan diajak agar mau menjadi penasihat dagang untuk Trump selama kampanye dan terus berlanjut hingga sekarang.
Pandangannya radikal
Bagi pengamat kampanye Trump mengenai isu perdagangan, nama Navarro menjadi sorotan. Menurut ekonom dari MIT, Simon Johnson, rancangan ekonomi yang disusun oleh Navarro dan Wilbur Ross (kini menjadi Menteri Perdagangan AS) didasarkan pada asumsi yang tidak realistis.
”Tampaknya mereka seperti datang dari planet lain,” demikian kutipan dari Trump's Magical Economic Thinking di Project Syndicate, 7 Maret 2017.
Stephen Roach, peneliti senior dari Jackson Institute for Global Affairs (Yale University), mengatakan, ”Status Navarro sebagai ekonom sudah seharusnya dilucuti… Dia membenci dan menuduh China sebagai penyebab semua masalah ekonomi AS.” (Bloomberg, 28 Juni 2017).
Di Fox News pada 2 Maret, Navarro berkelit. ”Ini bukan soal China semata… Kita hanya ingin mengembalikan produksi ke AS,” ujar Navarro setelah muncul kehebohan tentang rencana Trump untuk menerapkan tarif impor baja serta aluminium.
Salah tembak
Kritikan dan kekhawatiran para ekonom AS, yang umumnya tidak disukai Trump, menjadi kenyataan. Navarro mengotaki pengenaan tarif tambahan terhadap impor baja dan aluminium. Maksud dari kebijakan ini ialah menembak China, sasaran utama.
Hal yang mengejutkan, justru negara-negara sekutu penting AS, yakni Kanada, Eropa, Korea Selatan, mengalami dampak paling besar. China, sasaran kebencian Navarro, hanya memasok 2 persen dari total impor baja oleh AS.
Navarro dan Ross tidak melihat dengan saksama kebijakan Presiden Barack Obama pada 2016 yang ”menembak” khusus pada China dengan mengenakan tarif 500 persen. Hal ini memaksa China mengurangi ekspor baja ke AS.
Navarro, Ross, dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer adalah trio yang disukai Trump. Bagi mereka, China harus dihantam.
Mungkin Trump, Navarro, Ross, dan Lighthizer mengira langkah Obama bisa ditiru dengan menyasar komoditas lain. Hal ini sulit dilakukan. Boeing terancam jika China mengalihkan pesanan ke Airbus. Pengenaan tarif baja asal China oleh Obama didasari pada tuduhan bahwa China melakukan aksi banting harga.
China lalu mengantisipasi serangan lanjutan dengan memodifikasi aspek perdagangan. China juga membiarkan yuan menguat, yaitu menjadi 6,3386 yuan per dollar AS atau terjadi apresiasi.
Masalah lainnya lagi, Navarro tidak membaca fenomena. Pengenaan tarif dikenakan untuk melindungi industri yang menuju tenggelam. Jauh sebelum China bangkit, industri baja AS sudah memudar sejak 1953 (Bloomberg, 6 Maret).
Kala itu, tiga besar perusahaan baja AS (Bethlehem, U.S. Steel, dan Republic) terkapar akibat kalah bersaing dengan baja asal Eropa. Tiga besar ini terlena, bahkan disebutkan terlalu angkuh sehingga lengah mengantisipasi kebangkitan baja Eropa.
Otomatisasi oleh perusahaan AS di sektor baja turut menghilangkan kesempatan kerja di AS. ”Tarif impor tidak akan menyelamatkan sektor yang menuju kematian,” kata mantan Mendag AS Carlos Gutierrez dari era Presiden George W Bush kepada CNBC, Senin (5/3).
Pada 2002, Bush mengenakan tarif 30 persen atas baja Eropa. Hal ini dibatalkan dua tahun kemudian karena Eropa mulai melakukan pembalasan. Bill Clinton saat menjabat juga gagal melakukan hal serupa.
Minim logika ekonomi
Dasar rencana pengenaan tarif tidak saksama. Tarif diusulkan semata-mata berdasarkan data defisit perdagangan AS sebesar 566 miliar dollar AS pada 2017.
Menurut Roach, defisit perdagangan muncul akibat anggaran Pemerintah AS lebih besar pasak daripada tiang serta pola konsumsi. Warga AS menabung dalam jumlah sedikit dan berkonsumsi dengan mengandalkan utang serta memilih produk impor yang lebih murah. Menurut Roach, pada 2017, AS mengalami defisit perdagangan terhadap 102 negara.
AS harus mengubah mindset atau pola pikir. Negara menua ini mengalami penurunan produktivitas. Perubahan kekuatan ekonomi global membuat AS tidak bisa semena-mena memakai ”Super 301 Act”. Lewat undang-undang ini, AS dulu dapat begitu mudah menghantam impor tanpa seizin WTO.
Jonathan Stromseth dan Ryan Hass dari Center for East Asia Policy Studies memberi solusi, seperti dituliskan di Nikkei Asian Review edisi 13 November 2017. Menurut mereka, tidak berguna bagi AS menggasak mitra dagang, termasuk China.
”Kebijakan Amerika di Asia harus menyajikan agenda positif,” demikian kata Stromseth dan Hass. Alasannya, AS dan Asia justru saling membutuhkan.