Pasukan Assad, Minggu kemarin, justru mulai melancarkan serangan darat dari tiga arah ke Ghouta timur. Gerak maju pasukan darat rezim Damaskus itu dibantu artileri dan jet tempur Rusia dan Suriah.
Milisi Jeis al-Islam, seperti dilansir televisi Al Jazeera, mengklaim mampu membendung gerak maju pasukan darat rezim Assad. Jeis al-Islam adalah salah satu dari dua faksi bersenjata besar di Ghouta timur. Faksi bersenjata besar lain di wilayah itu adalah Faylaq al-Rahman.
Lembaga pemantau HAM Suriah yang berbasis di London, SOHR, melaporkan, seorang perempuan tewas dan tujuh
warga sipil lain luka-luka akibat gempuran artileri rezim Assad atas Desa Hamuriyeh di Ghouta timur. Dengan tambahan korban terbaru ini, jumlah korban tewas sejak serangan masif militer Assad atas Ghouta timur sepekan terakhir menjadi 520 jiwa.
Direktur SOHR Rami Abdurrahman mengungkapkan, serangan baru rezim Assad dimulai hari Minggu kemarin sekitar
pukul 07.30 waktu setempat atas sekitar kota Duma. Faksi oposisi bersenjata membalas serangan itu dengan menembakkan roket ke arah kota Damaskus. Seorang tewas dan sejumlah orang lainnya luka-luka akibat gempuran oposisi atas kota Damaskus itu.
Suriah, Rusia, dan Iran berdalih, berlanjutnya serangan atas Ghouta timur untuk mengejar kaum teroris itu tidak termasuk dalam resolusi DK PBB terkait gencatan senjata di Ghouta timur selama 30 hari. Ketiga negara itu menggunakan celah pengecualian kaum teroris di Ghouta timur dari resolusi gencatan senjata itu untuk terus melancarkan serangan militer atas wilayah tersebut.
Seperti diketahui, setelah digelar dialog tertutup selama dua jam, ke-15 negara anggota DK PBB pada Sabtu malam secara aklamasi menyetujui rancangan resolusi yang diajukan Kuwait dan Swedia tentang gencatan senjata di Suriah selama 30 hari untuk membuka akses bantuan kemanusiaan.
Resolusi DK PBB itu mengecualikan faksi teroris, seperti Front al-Nusra, Al Qaeda, dan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), dari resolusi gencatan senjata. Pengecualian tersebut atas permintaan Rusia. Semula Rusia juga meminta supaya faksi-faksi yang bekerja sama dengan faksi-faksi teroris itu masuk dalam pengecualian.
Namun, Amerika Serikat (AS) dan Barat menolak permintaan itu karena khawatir dijadikan dalih Rusia dan Suriah untuk terus menggempur faksi-faksi oposisi moderat dukungan Barat.
Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran Jenderal Mohammad Bagheri, seperti dikutip kantor berita Iran, Tasnim, menyatakan komitmen terhadap resolusi DK PBB terkait gencatan senjata, tetapi wilayah pinggiran Damaskus yang dikontrol kaum teroris tidak termasuk dalam resolusi gencatan senjata itu. Ia menambahkan, Iran dan Suriah akan terus menggempur wilayah pinggiran Damaskus (Ghouta timur).
Salah seorang pemimpin Jeis al-Islam di Ghouta timur, Mohammed Aloushi, kepada televisi Al Jazeera mengungkapkan, faksi Hayat Tahrir al-Sham di Ghouta timur sangat kecil. Ia menegaskan, tidak ada alasan bagi Rusia dan rezim Assad terus menggempur Ghouta timur dengan dalih untuk membasmi Hayat Tahrir al-Sham.
Hayat Tahrir al-Sham adalah kumpulan faksi-faksi radikal di Suriah dengan tulang punggung Front al-Nusra. Front al-Nusra, yang kemudian mengubah nama menjadi Fath al-Sham, adalah sayap Al Qaeda di Suriah pimpinan Mohammed Golani.
Aloushi menyebutkan, korban terbesar dari serangan Rusia, Suriah, dan Iran atas Ghouta timur selama sepekan ini adalah warga sipil. Ia menyerukan agar Damaskus, Rusia, dan Iran menghormati resolusi DK PBB soal gencatan senjata selama 30 hari.