Perempuan Yazidi yang menjadi korban kekejaman kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) takut pulang ke Irak. Ia menyebut mantan anggota kelompok itu sekarang tinggal bersama warga lainnya di kampung halamannya.
Oleh
Elok Dyah Messwati
·4 menit baca
Peristiwa menyakitkan tak mudah dilupakan, menjadi trauma yang terus membayangi selama hidup. Itulah yang dirasakan para penyintas Yazidi. Mereka tak ingin kembali ke Irak karena takut terjadi ”genosida” baru seperti yang dilakukan oleh Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) dulu.
Farida Abbas Khalaf, salah satu dari ribuan perempuan Yazidi yang diculik, diperkosa, dan disiksa anggota NIIS mengatakan, kekalahan yang diderita NIIS tak berarti Irak sudah aman. ”Orang yang sama yang tergabung dalam NIIS masih berada di lingkungan sekitar kami. Bagaimana kami bisa mempercayai mereka?” ujar Khalaf.
”Siapa yang akan menjamin genosida itu tidak akan terjadi lagi oleh pelaku yang menggunakan nama lain?” kata Khalaf kepada AFP beberapa hari lalu.
Khalaf, perempuan muda itu, masih berusia 18 tahun saat NIIS tiba di desanya, Desa Kocho, di Sinjar, Irak utara, 3 Agustus 2014. Khalaf yang berambut hitam panjang dengan mata sedih mengisahkan ia dan keluarganya tak menyangka desa mereka akan diserang.
Hal itu diceritakannya di sela-sela KTT Pembela Hak Asasi Manusia di Geneva, Swiss. Ia menuturkan, warga Yazidi tak pernah menyakiti siapa pun, tidak menyinggung siapa pun. Mereka hanya ingin hidup dalam damai.
Namun, warga Yazidi menjadi sasaran kebencian militan NIIS. Mereka bertindak brutal terhadap etnis minoritas itu.
Khalaf menulis pengalamannya tersebut dalam buku berjudul The Girl Who Beat ISIS. Isinya menggambarkan apa yang dialaminya di bawah NIIS.
”Mereka mengumpulkan kami semua di desa dan mereka meminta kami untuk \'bertobat\'. Kami menolak dan mereka mulai membunuh warga yang menolak,” kata Khalaf. Dalam satu hari, anggota NIIS bisa membunuh lebih dari 450 pria dan anak laki-laki Yazidi.
Ayah Khalaf dan salah satu saudara laki-lakinya ikut dibunuh, sementara Khalaf diculik. ”Ketika kami diculik, mereka melakukan apa saja terhadap kami. Mereka memperkosa perempuan dewasa dan anak perempuan, bahkan yang masih berumur delapan tahun,” ucapnya.
Khalaf kemudian dibawa ke salah satu pasar budak NIIS yang sangat terkenal. Perempuan dewasa dan anak perempuan Yazidi dijual dan diperdagangkan sebagai budak.
"Mereka memilih perempuan yang mereka inginkan, sama seperti ketika mereka membeli barang di supermarket atau membeli hewan," kata Khalaf.
Di dalam tahanan NIIS, Khalaf berusaha tetap kuat meski mendapat siksaan yang tak terbayangkan. Ia berusaha memberikan dukungan pada gadis-gadis muda yang juga ditahan.
Mereka memilih perempuan yang mereka inginkan, sama seperti ketika mereka membeli barang di supermarket atau membeli hewan.
Khalaf mengatakan bahwa dia tidak pernah berhenti memikirkan upaya untuk melarikan diri. Setelah empat bulan dalam tahanan NIIS, didapatinya sebuah pintu tidak terkunci. Tanpa menunggu lama, Khalaf dan beberapa gadis lainnya kabur.
Setelah menempuh perjalanan yang panjang dan sulit, Khalaf berhasil mencapai Jerman bersama lebih dari 1.000 penyintas Yazidi. Pemerintah Jerman memberi mereka perlindungan dan dukungan psiko-sosial.
Pengadilan internasional
Khalaf mengatakan kini fokus agar ada pengakuan bahwa warga Yazidi telah mengalami genosida. Ia juga berusaha membawa NIIS ke pengadilan internasional.
Pemerintah Irak mengumumkan kemenangan atas NIIS pada Desember 2017. Baghdad merebut kembali wilayah-wilayah besar yang dikuasai NIIS sejak 2014.
Bagi Khalaf, hal itu masih jauh dari cukup. ”Saya ingin melihat NIIS dan mereka yang melakukan kejahatan ini diseret ke pengadilan internasional,” ucapnya.
Pikiran bahwa ada sekitar 3.000 perempuan dewasa dan anak perempuan Yazidi yang ada di tahanan saat ia berhasil kabur, terus mengganggunya. Ribuan orang hilang dan tetap terjebak di kamp-kamp dengan pelayanan buruk di Irak.
"Mereka membutuhkan pertolongan, mereka memerlukan perawatan, dan mereka tidak mendapatkan itu di kamp," kata Khalaf. Tanpa dukungan, menurut Khalaf, akan ada banyak yang akan mati karena bunuh diri.
Khalaf memuji Jerman, Kanada dan Australia karena telah menolong banyak penyintas Yazidi, tetapi dia mengatakan bahwa ada kebutuhan mendesak dan berharap lebih banyak negara yang bisa turut berperan membantu para penyintas korban NIIS.
Dia meminta masyarakat internasional untuk ikut membangun kembali desa-desa yang hancur di Sinjar dan memberikan perlindungan kepada warga Yazidi yang ingin kembali ke rumah.
"Saya akan mempertimbangkan untuk kembali begitu ada keadilan dan pengadilan internasional mengakui bahwa apa yang dilakukan NIIS adalah genosida, dan ada perlindungan internasional," katanya. "Kalau tidak, bagaimana kami bisa tahu bahwa kami tidak akan menghadapi genosida lainnya?" (AFP)