JAKARTA, KOMPAS - Situasi baru membentang di hadapan Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Situasi tersebut ditandai antara lain oleh melemahnya dukungan terhadap globalisasi dan multilateralisme.
Pengamat hubungan internasional, Beginda Pakpahan, Kamis (8/2), menjelaskan, Brexit atau keluarnya Inggris dari Uni Eropa merupakan salah satu indikasi tren menguatnya nasionalisme. Secara umum, kecenderungan ini muncul akibat ada pihak-pihak yang selama ini merasa tidak menikmati buah dari globalisasi.
Tren ini ditandai pula dengan hasil pemilihan Presiden Amerika Serikat yang menempatkan Donald Trump sebagai pemenang. Trump lantas mengeluarkan berbagai kebijakan yang cenderung menolak multilateralisme, antara lain menarik AS dari kesepakatan iklim Paris dan menghentikan keikutsertaan Washington dalam Kemitraan Trans-Pasifik (TPPA).
”Kecenderungan ini menciptakan ketidakpastian. Setelah Trump terpilih, timbul lagi ketidakpastian baru,” kata Beginda dalam diskusi buku Indonesia, ASEAN, dan Ketidakpastian Hubungan Internasional, di Gedung Kompas Gramedia, Jakarta. Buku yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas ini berisi kumpulan tulisan karya Beginda.
Ada 29 tulisan dalam buku itu yang dibagi dalam tiga kelompok, yakni Indonesia dan Hubungan Internasional; ASEAN dan Hubungan Internasional; serta Regionalisme, Inter-Regionalisme, Multilateralisme, dan Ketidakpastian Hubungan Internasional. Tulisan-tulisan dalam buku ini menyoroti berbagai isu mutakhir, seperti Laut China Selatan, politik luar negeri RI, relevansi ASEAN, G-20, Brexit, dan kebijakan Trump.
Dalam diskusi, Kepala Departemen Hubungan Internasional CSIS Shafiah Fifi Muhibat tampil sebagai pembahas. Ia memberikan apresiasi karena pembahasan mengenai ASEAN mendapat tempat tersendiri di dalam buku.
Menurut dia, ASEAN bernilai penting bagi Indonesia. Namun, selama ini Indonesia dirasakan belum berperan untuk memimpin ASEAN. ”Oleh teman-teman di Rajaratnam (S Rajaratnam School of International Studies, Singapura), saya sering ditanya, ’Kapan Indonesia memimpin ASEAN lagi’,” tutur Fifi.
Manfaat dirasakan rakyat
Aleksius Jemadu, Guru Besar Politik Internasional Universitas Pelita Harapan, yang hadir dalam diskusi, berpendapat, tak bisa sepenuhnya dilihat telah terjadi kemunduran akibat globalisasi. Volume perdagangan terbukti meningkat berkat globalisasi. Kesejahteraan warga pun bertambah.
Selain itu, ada China yang kini menjadi mesin globalisasi. ”Lebih tepat jika kita menyebut situasi sekarang sebagai realitas yang kompleks,” tutur Jemadu.
Dalam situasi terkini, ia mengingatkan, organisasi kawasan ASEAN perlu dirasakan manfaatnya oleh rakyat Indonesia. Hal ini tak akan tercapai jika dalam bidang perdagangan, investasi, dan pariwisata, Indonesia justru tertinggal dari anggota lain ASEAN. ”Indonesia kurang memanfaatkan ASEAN,” kata Jemadu.
Hadir pula dalam diskusi, antara lain, mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Chappy Hakim.