Industri ”Mematikan” yang Menggiurkan
Ketidakstabilan, krisis, dan konflik adalah panggung kematian, tetapi sekaligus menjadi ajang unjuk kekuatan dan kedigdayaan. Ketika korban terus berjatuhan, pundi-pundi pabrikan senjata membengkak menjadi salah satu sumber kemakmuran.
Cemas akan situasi kawasan dan kepungan tetangganya yang kuat, Qatar mengucurkan dana senilai lebih dari 25 miliar dollar AS atau setara Rp 336,3 triliun untuk membeli senjata. Sejak krisis diplomatik dengan mitranya di kawasan, Doha merogoh pundi-pundi uang yang mereka pupuk dari minyak untuk mendanai belanja pertahanan.
Tuduhan Arab Saudi bahwa Qatar mendanai terorisme dijawab dengan pembelian pesawat tempur canggih F-15 dari Amerika Serikat, hanya dua minggu setelah krisis politik itu merebak, Juni 2017. Berikutnya, ketika Presiden Perancis Emmanuel Macron berkunjung ke Doha, Desember tahun lalu, Qatar kembali menandatangani kesepakatan pembelian jet tempur mutakhir Rafale besutan Dassault Aviation, Perancis.
Kesepakatan itu sempat membuat Inggris, yang sebelumnya menyepakati penjualan 24 jet tempur Typhoon dengan Doha, tidak nyaman. Pasalnya, London pun ingin mengamankan kesepakatan penjualan sistem pertahanan udara untuk negara Teluk itu.
Bagi banyak produsen senjata, Qatar adalah ladang uang, sebagaimana dengan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Menurut kajian Institut Kajian Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI), sejak 2013, Doha menghabiskan setidaknya 3 miliar dollar AS atau sekitar Rp 40,3 triliun per tahun untuk belanja pertahanan. ”Ini investasi militer besar-besaran,” kata Andreas Krieg, mantan penasihat militer untuk Pemerintah Qatar, Jumat (2/2).
Peningkatan permintaan
Jika melirik laporan tren penjualan senjata global, Qatar sebenarnya tidak termasuk dalam 20 negara pengimpor terbesar senjata global. Ia kalah dari mitra regionalnya, yaitu Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Turki, Irak, dan Mesir. Dibandingkan dengan mereka, kekuatan militer Qatar belum seberapa.
Dalam laporan SIPRI negara-negara itu merupakan bagian dari 20 negara dunia yang selama kurun 2012-2016 ikut mendongkrak volume perdagangan senjata global. Peningkatannya mencapai 8,4 persen lebih tinggi dibandingkan dengan periode 2007-2011.
SIPRI menyebut volume penjualan senjata dalam periode lima tahun terakhir merupakan yang tertinggi sejak Perang Dingin berakhir. Amerika Serikat, Rusia, China, Perancis, dan Jerman merupakan lima besar produsen senjata utama yang turut memasok produk mereka untuk pasar global.
Krisis di Timur Tengah dan ketegangan di kawasan Asia, termasuk kawasan seputar Laut China Selatan, turut menjadi pemicu peningkatan belanja senjata. Indonesia menduduki peringkat ke-14 importir senjata global, sementara itu Vietnam menduduki posisi ke-10. SIPRI mengatakan, ketegangan antara sejumlah negara yang bersengketa di wilayah Laut China Selatan, secara langsung maupun tidak langsung, mendorong peningkatan kebutuhan senjata. Pertumbuhan impor senjata di kawasan itu naik 6,2 persen dari periode 2007-2011. Senjata yang dibeli antara lain kapal selam, fregat, pesawat tempur, dan rudal antikapal.
Di Asia, upaya India mempertahankan keseimbangan kekuatan dengan China—tekanan dari tetangga terdekat, Pakistan—menempatkan negara itu tetap pada posisi pertama importir senjata dunia. Sementara itu, konflik di Yaman, Suriah, dan ketegangan dengan Iran memicu pembelian besar-besaran senjata oleh negara-negara Teluk. AS menjadi eksportir utama bagi kawasan Teluk.
Pasar Asia dan Pasifik adalah pasar yang sangat kompetitif. Peningkatan belanja pertahanan oleh Vietnam, Indonesia, Filipina, dan Australia membuat AS untuk pertama kali mengirimkan diplomatnya, Tina Kaidanow, yang bertanggung jawab atas ekspor senjata ke Pameran Kedirgantaraan Singapura yang akan digelar pada 6-10 Februari. Tugas utama yang diemban adalah mempromosikan senjata buatan AS.
AS menjadi eksportir utama bagi kawasan Teluk
Sejumlah senjata yang akan ditawarkan ialah pesawat tempur canggih F-35 buatan Lockheed Martin dan rudal produksi Raytheon. Sepanjang tahun 2016, AS mengekspor produk kedirgantaraan dan pertahanan senilai 49,5 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 666,4 triliun untuk pasar negara-negara di Asia Pasifik.
Apa yang dilakukan AS merupakan bagian dari inisiatif pemerintahan Presiden Donald Trump yang bertajuk ”Buy American”. Inisiatif itu mendorong atase militer dan diplomat AS memainkan peran yang jauh lebih besar dalam pasar bernilai miliaran dollar AS itu.
”Kami akan bekerja untuk memperkuat advokasi kami pada setiap tingkatan di kedutaan, mulai dari atase perdagangan Anda hingga duta besar,” kata seorang pejabat AS tanpa ingin disebut namanya.
Sebagai catatan, permintaan untuk senjata buatan AS merupakan salah satu penyumbang terbesar pada tahun fiskal 2017. Besarannya mencapai 42 miliar dollar AS, meningkat 11 miliar dollar AS dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya 31 miliar dollar AS. Dan, kawasan Asia Pasifik merupakan salah satu tujuan ekspor regional terbesar dari industri militer AS.
Menggiurkan
Amnesty International mencatat, dunia menyisihkan setidaknya 1,69 triliun dollar AS atau lebih dari Rp 21.500 triliun, atau sekitar 2 persen produk domestik bruto global untuk belanja militer. Uniknya, lima anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu China, Perancis, Rusia, Inggris, dan AS—yang bertanggung jawab mengelola perdamaian dan keamanan dunia—secara kolektif justru menguasai 70 persen pasar senjata konvensional dunia.
Besarnya kue industri pertahanan global itu memikat Australia untuk ikut terlibat. Senin lalu, Perdana Menteri Malcolm Turnbull mengatakan, pemerintah siap menggelontorkan dana hingga 3,1 miliar dollar AS, setara dengan Rp 41,7 triliun, untuk mendongkrak kinerja industri pertahanan Australia. ”Australia berada di antara eksportir terbesar, berada di posisi ke-20. Dengan ukuran anggaran pertahanan kami, sebaiknya mencapai skala yang lebih tinggi dari itu. Tujuannya adalah masuk ke 10 besar,” kata Turnbull.
Australia berada di antara eksportir terbesar, berada di posisi ke-20
Menteri Pertahanan Australia Christopher Pyne mengatakan, Australia akan menargetkan penjualan ke Amerika Serikat, Kanada, Inggris, dan Selandia Baru. Langkah itu juga ditujukan untuk meningkatkan lapangan kerja yang menyusut 7 persen pada akhir 2017.
Akan tetapi, gelimang dollar dari industri militer itu juga berbau kematian. Dalam laporan bertajuk Killer Facts: The Scale of The Global Arms Trade, Amnesty International mengatakan, sejak berakhirnya Perang Dingin, lebih dari 2,2 juta orang tewas dalam sejumlah konflik bersenjata yang terjadi di beberapa kawasan.
Karena itu, mereka mendesak komunitas global agar kembali berkomitmen pada Pakta Perdagangan Senjata (ATT) yang bertujuan untuk membatasi perdagangan senjata, terutama yang diduga terkait dengan isu genosida, dan kejahatan perang lainnya. Meski isu itu terkesan minimal, upaya tersebut setidaknya dapat digunakan untuk menahan hasrat buat semata-mata memupuk dollar dan kekuasaan.
(AFP/AP/Reuters/B Josie Susilo Hardianto)