Konstitusi Iran memang memberikan kebebasan pers sepanjang yang dipublikasikan sesuai prinsip-prinsip Islam. Pasal 24 Konstitusi Iran menyatakan, ”Publikasi dan pers memiliki kebebasan berekspresi”. Akan tetapi, apabila melanggar hukum karena menyatakan pandangan-pandangan yang merugikan prinsip-prinsip fundamental Islam atau hak-hak publik, pers akan ditindak.
Ketentuan tersebut pernah diinterpretasikan secara luas antara lain meliputi seluruh hal yang mencakup sentimen antipemerintah. Tidak heran apabila tahun 1987, semua surat kabar dan majalah harus mendukung institusi politik dasar Republik Islam. Karena itu, setiap publikasi yang dirasa melanggar ketentuan tersebut dicabut izin terbitnya.
Izin penerbitan di Iran juga harus diperbarui tiap tiga tahun sekali. Izin penerbitan itu semacam surat izin usaha penerbitan pers, yang di Indonesia di masa lalu juga dapat dicabut pemerintah kalau media yang bersangkutan dirasa, dianggap, dinilai melanggar hal-hal yang sudah ditentukan pemerintah.
Meski demikian, kata Direktur Utama Iran Newspaper MT Roghaniha, kini media di Iran jauh lebih bebas. (Setidaknya) apabila dibandingkan dengan media di negara-negara lain di Timur Tengah,” ujarnya, Senin (22/1), dalam pertemuan dengan enam wartawan Indonesia di kantornya di Teheran.
Perusahaan penerbitan Iran Newspaper adalah milik Islamic Republic News Agency. Sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Iran. Iran Newspaper menjadi penerbit dari lima media cetak, yakni (media) Iran, Iran Daily, Iran Sport, Iran Sepid, dan Iranazin Magazine.
Iran Sepid tergolong media terobosan karena merupakan surat kabar bagi penyandang tunanetra. Oplah Iran Sepid mencapai 4.000 eksemplar yang didistribusikan lewat pos. Iran Sepid juga memiliki laman berita.
”Sekalipun Iran Newspaper adalah milik IRNA, kami tidak mendapatkan dana dari pemerintah. Kami hidup dari iklan,” kata Roghaniha. Di sisi lain, kebanyakan media di Iran mendapatkan dana dari pemerintah.
Sejak Hassan Rouhani menjadi presiden (sejak 2013), kata Roghaniha, media banyak menyoroti berbagai kekurangan, misalnya, dalam hal sosial-budaya, sosial kemasyarakatan, dan ekonomi. Meski harus diakui, media di Iran cenderung menghindari bicara masalah politik dalam negeri. Kalaupun membahasnya, akan mencari cara dan jalan yang sangat aman, jalan tengah.
Meski harus diakui, media di Iran cenderung menghindari bicara masalah politik dalam negeri. Kalaupun membahasnya, akan mencari cara dan jalan yang sangat aman, jalan tengah.
Roghaniha mengatakan, para pembaca kini lebih menyukai media yang memberitakan apa adanya, fakta di lapangan tanpa ditutup-tutupi. Apalagi, media sosial makin bebas dan dapat mengabarkan berbagai berita dari mana saja, dalam bentuk apa pun, dalam waktu yang lebih cepat, dan memberitakan apa adanya, meskipun ada pihak yang tidak bertanggung jawab dengan memberitakan berita bohong, misalnya.
Adapun Yazdan Haghi, News Deputy IRNA, berpendapat, ”Media harus memberikan gambaran yang sebenarnya, yang realistik.” Namun, ia mengatakan, orang-orang media (wartawan) haruslah lebih sebagai utusan untuk mengabarkan perdamaian dan persahabatan.
Yazdan Haghi mengatakan, kebebasan pers juga ibarat ”buruk muka cermin dibelah”. Artinya, kalau media memberitakan hal-hal yang buruk tentang negara, tentang pemerintahan, maka sama saja mengungkap keburukan pemerintah. ”Gambaran tentang suatu negara tergantung dari media,” katanya.
Sangat wajar apabila Yazdan Haghi berpendapat seperti itu. Jangan lupa kalau Yazdan Haghi sedang memimpin sebuah kantor berita milik negara.
Di Iran sendiri pun ada banyak kantor berita, misalnya AhlulBayt News Agency (ABNA), Cultural Heritage News Agency (CNA), Communications, Information Technology News Agency (CITNA), Economic Cooperation Organizaation News Agency (Econews), Iranian Agriculture News Agency (IANA), Iranian Labour News Agency (ILNA), Iranian Student’s News Agency (ISNA), Islamic Republic or Iran Broadcasting (IRIB), Isfahan Metropolitan News Agency (IMNA), Icana News Agency (Iranian Parliamentary News Agency), dan Mehr News Agency (MNA).
Pasang surut
Dalam praktiknya, selama ini kebebasan pers Iran mengalami pasang surut. Ketika Mohammad Khatami secara mengejutkan terpilih sebagai presiden (1997), misalnya, ada dampak baik terhadap kebebasan pers. Selama beberapa tahun, pers tidak begitu dihambat, diikat.
Soazig Dollet, periset mengenai Afrika Utara dan Timur Tengah untuk ”Reporter Tanpa Batas” yang bermarkas di Paris, mengatakan, kemenangan Khatami diikuti ledakan surat-surat kabar reformis. Para wartawan mendapatkan kesempatan terkadang untuk meliput masalah-masalah negara yang kontroversial.
Namun, pada April 2000, Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei mulai menindak media-media reformis. Apalagi ada surat-surat kabar liberal yang dinilai melayani kepentingan musuh (AS dan Israel) dengan menyiarkan retorika anti-Iran. Lusinan surat kabar dan mingguan ditutup, sedangkan awak medianya dipenjara (Greg Bruno: 22 Juli 2009).
Pemerintah Iran juga memperkuat kontrol terhadap media-media dalam negeri, baik lokal maupun nasional, utama setelah pergolakan menyangkut hasil pemilu presiden pada Juni 2009. Satu bulan setelah sengketa suara hasil pemilu (yang digerakkan oleh kalangan kelas menengah di Teheran pendukung kelompok reformis-modernis), hampir 40 wartawan dipenjara.
Namun, kini, seperti dikatakan Roghaniha, pada zaman Hassan Rouhani, media lebih menikmati kebebasan, yang tentu berbeda dengan kebebasan media di Indonesia (Trias Kuncahyono dari Teheran, Iran).