Selain itu, perubahan yang disusun Shuli Moalem-Refaeli dari partai ultrakanan Rumah Yahudi itu juga memungkinkan mengubah definisi kota Jerusalem. Perubahan itu muncul kurang dari satu bulan setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump membuat marah rakyat Palestina, pemimpin Timur Tengah, dan dunia dengan mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel.
”Kewenangan untuk melepaskan bagian dari tanah Jerusalem itu tidak berada di tangan Yahudi secara individu ataupun masyarakat. Kita sudah menjamin persatuan Jerusalem,” kata Ketua Partai Rumah Yahudi yang juga menjabat Menteri Pendidikan Israel, Naftali Bennett.
Namun, keputusan itu tidak disambut baik semua pihak di Israel. Ketua oposisi Israel, Isaac Herzog, mengatakan, perubahan itu justru menggiring Israel ke kehancuran. Dov Henin dari kelompok oposisi Daftar Bersama yang terdiri atas mayoritas Arab menilai aturan baru itu memblokir perdamaian. ”Tanpa kesepakatan tentang Jerusalem, tak akan ada perdamaian. Aturan baru ini mengundang pertumpahan darah,” ujarnya.
Status Jerusalem sejak dahulu merupakan isu paling sensitif dalam konflik Israel-Palestina. Juru bicara Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Nabil Abu Rdainah, menilai perubahan kebijakan
AS terhadap Jerusalem dan adanya aturan baru ini jelas menunjukkan pernyataan perang terhadap rakyat Palestina. ”Voting itu jelas menunjukkan Israel mengakhiri apa yang selama ini disebut proses politik,” kata Abu Rdainah.
Menanggapi voting parlemen Israel mengenai aturan baru, Abbas berharap kebijakan ini akan mengingatkan komunitas internasional bahwa Pemerintah Israel yang sudah didukung penuh oleh AS tidak tertarik pada perdamaian yang adil dan abadi.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Saeb Erekat mengatakan, Israel mengambil langkah itu karena AS selama ini diam saja dan menunjukkan persetujuan dengan pernyataan Trump terhadap Jerusalem itu. ”Pemerintah AS sudah mengambil sikap dan posisi pendudukan. Rakyat Palestina jelas akan melawan AS dan Israel,” ujarnya.
Sebagai catatan, negosiasi damai antara Israel dan Palestina yang disponsori AS tidak berlanjut sejak tahun 2014. Namun, jika proses itu dimulai kembali, kesepakatan damai kemungkinan akan sulit tercapai dengan
UU baru Israel itu. Selain itu, upaya AS memulai kembali perundingan yang dipimpin menantu Trump, Jared Kushner, pun tidak menunjukkan kemajuan berarti.
Israel merebut Jerusalem Timur dalam perang tahun 1967 dan kemudian mencaplok wilayah itu serta mengklaim seluruh kota Jerusalem sebagai bagian dari ibu kota Israel. Di sisi lain, otoritas Palestina ingin menjadikan Jerusalem Timur menjadi ibu kota negara yang hendak mereka bangun di wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Politisasi
Terkait perubahan itu, Partai Likud pimpinan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga memberi tekanan dengan resolusi tak mengikat yang menyerukan pencaplokan wilayah pemukiman Yahudi di Tepi Barat. Langkah ini akan mendongkrak dukungan sayap kanan untuk Netanyahu yang sedang mencari dukungan publik menjelang pemilu mendatang.
Pemilu parlemen dijadwalkan berlangsung pada November 2019. Namun, kemungkinan pemilu akan dipercepat dengan adanya kasus korupsi yang menjerat Netanyahu dan ketegangan antarkoalisi dalam kabinet Netanyahu. Para pengamat Israel menilai, aturan baru itu hanyalah upaya Partai Rumah Yahudi bersaing dengan Partai Likud untuk mendapatkan dukungan dari kelompok sayap kanan. (AFP/REUTERS/LUK)