Para pembuat film asal Arab Saudi yang sedang berpartisipasi dalam Festival Film Dubai, Selasa (12/12), awalnya tidak percaya dengan kabar tak disangka-sangka itu. Namun, setelah mencari informasi ke banyak sumber, barulah mereka lega. Wajar jika awalnya mereka tidak percaya karena larangan itu sudah berlaku lebih dari 35 tahun.
Izin mendirikan bioskop pertama sudah diberikan dengan target beroperasi Maret 2018. Menurut rencana, sampai tahun 2030 akan ada 300 bioskop yang beroperasi di Arab Saudi. Terobosan yang dipelopori Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman ini ditentang kelompok-kelompok garis keras. Sebelum larangan bioskop dicabut, pertunjukan konser dan acara komedi sudah lebih dulu diizinkan. Perempuan di negeri itu juga diperbolehkan menyetir kendaraan mulai Juni 2018.
Sutradara film asal Arab Saudi, Hajar Alnaim, tidak menyangka larangan itu akan dicabut. Dahulu ia juga terpengaruh perspektif kelompok garis keras. Namun, setelah ia mendapat beasiswa Pemerintah Arab Saudi untuk belajar film di Los Angeles, Amerika Serikat, wawasan dan perspektifnya terbuka. ”Perspektif keluarga saya juga berubah,” ujarnya.
Pemerintah melarang bioskop awal 1980-an karena di bawah tekanan kelompok garis keras. Pada waktu itu juga, masyarakat Arab Saudi menjadi pemeluk agama yang konservatif, yang tidak memperbolehkan hiburan masyarakat serta memisahkan perempuan dan laki-laki. Namun, dengan reformasi kali ini, saat pemerintah berusaha memperluas perekonomian dan mengurangi ketergantungan pada sumber minyak bumi, reformasi budaya pun tak terelakkan.
”Kami sudah lama menunggu larangan itu dicabut,” kata sutradara Arab Saudi, Hanaa Saleh Alfassi, yang juga berpartisipasi dalam Film Festival Dubai.
Kerinduan akan bioskop diungkapkan sutradara Abdullah al-Eyaf, 10 tahun lalu, melalui film dokumenternya berjudul Cinema 500 Km. Film ini menggambarkan kerinduan bangsa akan kehadiran layar perak melalui karakter warga Arab Saudi yang menyeberang perbatasan untuk pertama kali hanya supaya bisa menonton di bioskop.
Selain merindukan film sebagai tontonan menghibur, menurut Alnaim, film juga bisa jadi jendela informasi untuk masuk ke perspektif Muslim. Setidaknya ini yang ia lakukan melalui film pendeknya, Detained. Film ini berkisah tentang pencari suaka Suriah yang diinterogasi Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat akibat tindakan ayahnya.
Adapun film karya Alfassi berjudul Lollipop bertema sosial dan hukum. ”Ini kisah masa peralihan perempuan yang mendapat haid pertama dan memutuskan menyembunyikannya dari keluarga. Kalau ketahuan, ia harus memakai kerudung menutupi wajah,” ujarnya.
Perempuan Arab Saudi harus mengenakan kerudung yang menutup wajah dan abaya hitam. Namun, beberapa tahun terakhir, mereka mulai berani berkerudung dengan menunjukkan wajah. Film ini terinspirasi pamflet yang sering dilihat Alfassi. Di pamflet itu tertulis imbauan bagi perempuan untuk mengenakan kerudung demi melindungi diri sendiri.
Ekonomi baru
Alfassi bisa memahami jika pada tahap awal bioskop mungkin akan menayangkan pilihan-pilihan film yang tidak kontroversial terlebih dahulu. Meski begitu, ia meyakini, industri perfilman akan berkembang seiring dengan masyarakat yang terbiasa menonton di bioskop.
”Yang menarik dengan menonton film di bioskop ini adalah kita akan menikmati film bersama orang lain. Tidak kita nikmati sendiri,” ujarnya.
Perkembangan terbaru ini juga melegakan jaringan bioskop yang selama ini berusaha mendobrak pasar Arab Saudi. Mayoritas penduduk negara itu berusia di bawah 25 tahun. Jaringan bioskop AS, AMC Entertainment, menandatangani kesepakatan tak terikat dengan Arab Saudi untuk membangun dan mengelola bioskop di seluruh wilayah negeri itu.
Mereka akan menghadapi persaingan ketat di tingkat regional, seperti dengan VOX Cinemas, operator terbesar di Timur Tengah, yang bermarkas di Dubai. Alain Bejjani, CEO perusahaan induk VOX, Majid Al Futtaim, mengatakan, bioskop akan menjadi fondasi sektor ekonomi baru yang menghasilkan lapangan pekerjaan baru.