Antara Zimbabwe dan Mesir
Untuk mengambil uang pensiun, pria renta berusia 76 tahun, Chareka Mutungwazi, harus tidur semalaman di luar sebuah bank di Harare, ibu kota Zimbabwe. Hal ini dilakukannya agar keesokan hari, ia bisa menempati posisi antrean di depan.
Pada pagi harinya, Mutungwazi merasa beruntung jika mendapatkan sepertiga dari total uang pensiun yang seharusnya diterima tiap bulan. Di tengah krisis uang tunai di Zimbabwe, negara itu membatasi penarikan uang di bank. "Saya harus tidur di antrean jika ingin mendapatkan uang," tutur Mutungwazi kepada kantor berita AFP, beberapa hari silam.
Kelangkaan uang kertas merupakan warisan dari hiperinflasi di Zimbabwe, 10 tahun lalu. Inflasi mencapai 500 miliar persen. Negara itu sampai harus mencetak uang kertas dengan nilai yang tertera adalah 100 triliun dollar Zimbabwe.
Dengan kondisi ekonomi yang begitu terpuruk, pergantian pemimpin Zimbabwe dari Robert Mugabe ke Emmerson Mnangagwa sangat diharapkan dapat membawa perubahan besar. Rakyat ingin Mnangagwa membuat ekonomi Zimbabwe kembali sehat.
Sinai
Sekitar 8.000 kilometer sebelah utara Harare, yakni di Kairo, Mesir, suasana berkabung berlangsung. Pemerintah menetapkan masa berkabung tiga hari menyusul serangan di Bir el-Abd, Sinai Utara, yang menyebabkan 305 orang tewas. Dalam insiden itu, kelompok ekstrem yang terdiri atas 20-30 orang menembaki ratusan warga yang menjalankan shalat Jumat, pekan lalu.
Serangan teror di Bir el-Abd merupakan yang kesekian kalinya di Sinai. Kekerasan meningkat terutama sejak Presiden Muhammad Mursi digulingkan pada 2013. Ada kelompok ekstrem bersenjata di Sinai yang menyatakan diri berafiliasi dengan milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Meski terbentang jarak ribuan kilometer, ada kesamaan antara dua negara itu. Buku Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity and Poverty (Daron Acemoglu dan James A Robinson, 2012) menyebutkan, Mesir dan Zimbabwe sama-sama memiliki institusi ekonomi yang "ekstraktif", yakni mengisap, mengeksploitasi warga masyarakat kebanyakan.
Di Zimbabwe, institusi ekonomi ekstraktif itu dulu berpusat kepada Mugabe. Ia dan partainya, ZANU-PF, bebas menentukan orang yang menempati posisi strategis di bidang ekonomi. Tak ada fit and proper test.
Di Mesir, institusi ekonomi ekstraktif itu terutama dulu berpusat di Presiden Hosni Mubarak. Orang-orang yang dekat dengannya bisa menempati posisi strategis, seperti pemimpin perusahaan besar dan memenangi tender. Revolusi 2011 yang menumbangkan Mubarak masih harus membuktikan diri mampu membuat ekonomi Mesir lebih kompetitif dan adil.
Di negara dengan institusi ekonomi ekstraktif, inovasi sulit terjadi. Kelompok penguasa menutup peluang bagi orang di luar kawanan mereka agar keuntungan bisa dimanfaatkan sendiri semaksimal mungkin.
Kemiskinan di Sinai, yang berkontribusi bagi kemunculan ekstremisme, tak bisa diabaikan merupakan dampak dari keberadaan institusi ekonomi ekstraktif di Mesir selama berpuluh-puluh tahun. Maka, pendekatan militer untuk mengatasi ekstremisme diperlukan, tetapi lebih penting adalah membangun ekonomi inklusif dan menyejahterakan di Sinai.
Tantangan serupa dihadapi Mnangagwa. Ia harus merombak bangunan ekonomi usang di Zimbabwe. Namun, institusi ekonomi yang tidak ekstraktif hanya bisa dihasilkan oleh institusi politik yang demokratis. Artinya, Mnanagagwa perlu mendorong demokratisasi di Zimbabwe. Hal serupa harus dilakukan Presiden Abdel Fattah el-Sisi di Mesir.