Serangan Bom Mobil di Somalia Tewaskan Sedikitnya 189 Orang
Oleh
R ADHI KUSUMAPUTRA
·2 menit baca
MOGADISHU, MINGGU — Dua serangan bom mobil di Mogadishu, ibu kota Somalia, Minggu (15/10), mengakibatkan 189 orang tewas. Serangan bom mobil itu merupakan salah satu serangan paling mematikan di Mogadishu sejak 2007. Belum ada pihak yang mengklaim bertanggung jawab atas serangan bom mobil tersebut.
Presiden Somalia Mohammed Abdullahi Farmaajo mengumumkan masa berkabung tiga hari dan mengimbau rakyat Somalia menyumbang darah dan dana untuk membantu para korban. Ledakan bom tersebut juga melukai sedikitnya 200 orang. Banyak orang mencari anggota keluarga mereka yang belum ditemukan.
Menurut The New York Times, jumlah korban diperkirakan bertambah. Voice of America (VOA) bahkan melaporkan, sudah 230 orang tewas.
”Serangan mengerikan hari ini membuktikan bahwa musuh kita tak pernah berhenti membuat rakyat menderita dan sengsara. Mari kita bergandeng tangan melawan teror,” kata Farmaajo dalam Twitter-nya. Dia meminta rakyat Somalia mengibarkan bendera setengah tiang. ”Saatnya untuk bersatu dan berdoa bersama. Teror tidak akan pernah menang,” katanya.
Abdulkadir Mohamed Abdulle, koresponden Voice of America Somalia di Mogadishu, termasuk korban luka-luka. Istrinya, Samira Abdirahman Sheikh Adam, mengonfirmasi bahwa suaminya mengalami luka-luka di leher, kepala, dan tangan kanan.
”Ini merupakan bencana. Kami meminta semua warga Somalia membantu mencari korban tewas di tengah puing-puing,” kata Wali Kota Mogadihu Tabid Abdi Mohamed dalam siaran radio pemerintah seperti dikutip VOA.
Serangan itu terjadi beberapa jam setelah militan Al-Shabab mengendalikan lagi kota Barire yang strategis di Somalia di wilayah pertanian di sepanjang Sungai Shabelle, 45 kilometer dari Mogadishu.
Ledakan bom mobil itu, menurut VOA, juga terjadi dua hari setelah Menteri Pertahanan dan Panglima Militer Somalia, yang memimpin perlawanan atas kelompok militan selama ini, mengundurkan diri dari pemerintahan karena alasan pribadi.
Sejumlah analis meyakini militan cenderung melakukan serangan pada saat keamanan negara longgar. ”Mundurnya menteri pertahanan dan panglima militer memberi angin kepada kelompok militan untuk melakukan serangan,” kata Dr Abdul Kadir Liban Isse dari Universitas Mogadishu.