Angela Merkel Tak Terbendung
Pemilihan umum di Jerman pada Minggu (24/9) diyakini akan dimenangi partai Angela Merkel (64), Uni Demokratik Kristen (CDU). Merkel akan menjadi Kanselir Jerman keempat kalinya, pencapaian luar biasa untuk perempuan Jerman.
Merkel telah menunjukkan kepiawaiannya dalam menjaga soliditas Eropa saat blok ini dilanda serangkaian krisis hebat. Ia juga mampu bangkit ketika popularitasnya di dalam negeri terpuruk akibat kebijakan migran.
Guncangan di Eropa terjadi ketika Rusia mencaplok Crimea pada 2014. Guncangan berlanjut dengan konflik di Ukraina. Sanksi ekonomi yang dijatuhkan UE pada Rusia juga menimbulkan friksi internal karena negara itu merupakan pasar besar bagi produk asal negara-negara Eropa.
Pada saat yang sama, krisis ekonomi global dan perang di Suriah berujung pada gelombang migran dan pengungsi besar-besaran dari Afrika serta Timur Tengah. Ini merupakan krisis migran terbesar sepanjang sejarah pasca-Perang Dunia II.
Dengan berani, Merkel pada Juni 2015 menyatakan Jerman membuka pintu bagi pengungsi dan siap menampung sekitar 900.000 orang. Keputusan Merkel diapresiasi PBB dan pemimpin dunia. Namun, di dalam Uni Eropa (UE) dan Jerman, Merkel mendapat tentangan keras.
Popularitas Merkel menjadi anjlok dan CDU gagal dalam serangkaian pilkada 2017. Tak hanya itu, gelombang pengungsi membuat sentimen populisme menguat di Eropa. Popularitas partai-partai ekstrem kanan yang antimigran dan anti-UE melejit.
Di Jerman, Partai Alternatif untuk Jerman (AfD), yang memiliki kaitan dengan Nazi di masa lalu, mampu meraih kursi parlemen daerah. Partai ekstrem kanan itu diyakini akan membuat sejarah baru dengan meraih suara sekitar 10 persen pada pemilu Minggu ini sehingga bisa menembus parlemen nasional
Saat UE terguncang, datang pukulan telak dari Inggris yang memutuskan bercerai dari UE. Keputusan Brexit menjadi titik krisis terparah bagi UE dan kepemimpinan Merkel.
Pasca-Trump
Seolah belum cukup kesulitan yang dihadapi Eropa, mereka dikejutkan oleh terpilihnya kandidat kontroversial Donald Trump sebagai Presiden AS. Trump dikenal populis, proteksionis, dan antimultilateralisme. Ia menyangsikan keberadaan NATO, PBB, dan UE.
Tanpa menihilkan kontribusi para pemimpin lainnya, sulit untuk tidak mengaitkan Merkel dengan pencapaian yang diraih Uni Eropa dalam melewati krisis. Merkel, misalnya, berinisiatif membuat kesepakatan migran dengan Turki. Kesepakatan itu berhasil mengurangi secara signifikan jumlah kedatangan migran dari Turki ke Yunani.
Di dalam negeri, Merkel mengelola isu migran dari dua arah. Di satu sisi, ia memuji rakyat Jerman sebagai bangsa yang humanis, terbuka, dan berkontribusi dalam menangani krisis global. Di sisi lain, ia berjanji keputusan Pemerintah Jerman untuk menampung hampir 1 juta pengungsi tak akan terulang. Resep politik Merkel ini mampu meningkatkan popularitasnya.
Kepercayaan pada Merkel juga didorong oleh situasi politik internasional, yakni kepemimpinan Trump yang membuat AS tak dapat diandalkan oleh Eropa. Sikap Trump yang mengecilkan NATO dan langkah AS untuk menarik diri dari Kesepakatan Paris membuat Eropa berang.
Ketika menyatakan pencalonan kembali dirinya, jajak pendapat menunjukkan 55 persen rakyat mendukung Merkel. Saingan terkuat Merkel adalah Martin Schulz dari Partai Sosial Demokrat (SPD). Namun, ia sulit menyaingi karisma Merkel.
Rakyat Jerman menyadari, sejak Merkel terpilih menjadi kanselir pada 2005, kesejahteraan mereka terus meningkat. Tingkat pengangguran di Jerman, misalnya, turun drastis dari 11,2 persen menjadi 3,8 persen NATO (The Economist, 15 September 2017).
Pertanyaannya, dengan siapa Merkel akan berkoalisi membentuk pemerintahan setelah pemilu 24 September, mengingat sulit bagi partai mana pun untuk meraih kursi mayoritas. Reuters menguraikan, ada sejumlah skenario. Yang paling mungkin, Merkel melanjutkan koalisi besar (grand coalition) dengan rival utamanya, SPD, seperti yang telah berlangsung selama ini. Koalisi itu menghasilkan mayoritas kuat di parlemen. Namun, ada ganjalan jika koalisi ini terwujud karena SPD menentang peningkatan anggaran pertahanan dan menuntut fokus perhatian pada pendidikan serta upaya pengurangan kesenjangan sosial.
Koalisi yang dianggap serasi adalah partai Merkel dengan Partai Kebebasan Demokrat (FDP), yang merupakan mitra tradisional sejak pasca-PD II. Jika partai yang propebisnis ini meraih suara memadai, kemungkinan besar koalisi itu bisa terbentuk. Bisa juga dibentuk koalisi tiga partai, yakni ditambah dengan Partai Hijau. (MYRNA RATNA)