TEHERAN, JUMAT — Presiden Iran Hassan Rouhani tetap akan mengembangkan rudal balistik meskipun dikecam Amerika Serikat dan Perancis. Dalam parade militer memperingati konflik Iran dan Irak 1980-1988, Iran memamerkan rudal baru, Khoramshahr, berdaya jangkau 2.000 kilometer dan mampu membawa hulu ledak lebih dari satu.
"Suka atau tak suka, kami akan memperkuat kemampuan militer yang penting sebagai langkah antisipatif. Tak hanya rudal yang diperkuat, tetapi juga darat, laut, dan udara. Untuk melindungi negeri, kami tidak butuh izin siapa pun," kata Rouhani.
Lagi pula, pengembangan rudal Iran tidak menyalahi ketentuan dalam kesepakatan karena rudal Iran tidak dirancang mampu membawa hulu ledak nuklir. Ini salah satu poin dalam kesepakatan untuk mencabut sanksi-sanksi terhadap Iran. Namun, menurut AS, Iran melanggar kesepakatan karena rudal buatan mereka tetap berpotensi dapat membawa hulu ledak nuklir.
Dengan alasan ini, AS kembali mengajukan sanksi baru terhadap Iran. Usulan AS didukung Presiden Perancis Emmanuel Macron yang menilai sanksi itu perlu diperluas sampai pada larangan uji rudal dan mencabut klausul dalam kesepakatan yang menyebut Iran dapat melakukan pengayaan uranium mulai 2025.
Kepala Kedirgantaraan Garda Revolusioner Jenderal Amir Ali Hajizadeh mengatakan, rudal-rudal Iran dirancang hanya mampu membawa hulu ledak konvensional dengan daya jangkau dibatasi maksimal 2.000 kilometer. Padahal, Iran memiliki teknologi yang bisa membuat rudal berdaya jangkau lebih jauh.
Ini berarti jenis rudal Iran hanya rudal jarak menengah. Meski demikian, rudal Iran tetap mampu menjangkau Israel atau pangkalan militer AS di Teluk.
Sejauh ini, menurut laporan Departemen Luar Negeri AS dan pengawas nuklir PBB, Iran masih mematuhi ketentuan dalam kesepakatan nuklir yang ada. Akan tetapi, bagi Presiden AS Donald Trump, kesepakatan nuklir Iran itu memalukan. Kelanjutan kesepakatan nuklir pada 2015 ini bergantung pada pidato Trump di Kongres AS pada 15 Oktober mendatang.
Sanksi baru
Jika Trump tidak percaya Iran masih mematuhi kesepakatan itu, bisa jadi ada sanksi baru dari AS bagi Iran dan kesepakatan itu akan gugur. Apalagi, Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson sudah menyatakan Iran tidak ikut membantu mewujudkan stabilitas keamanan di Timur Tengah. Menurut Tillerson, kesepakatan nuklir itu harus diubah. Namun, Iran bersikeras hasil kesepakatan itu tidak bisa diubah dan tidak bisa dinegosiasikan lagi.
Pada saat berpidato di Majelis Umum PBB, Trump menyatakan, Iran telah membangun kemampuan rudal-rudalnya. Trump juga menuding Iran justru "mengekspor" gejolak kekerasan ke Yaman, Suriah, dan wilayah lain di Timur Tengah.
Keinginan AS mengubah hasil kesepakatan nuklir itu membuat negara-negara lain yang terlibat dalam perundingan nuklir Iran khawatir. Apalagi, pada saat ini, dunia sedang dibuat pusing krisis nuklir Korea Utara.
Menteri Luar Negeri China Wang Yi menegaskan, ketegangan di wilayah Semenanjung Korea akibat krisis nuklir Korut menunjukkan pentingnya posisi kesepakatan nuklir Iran itu. Karena itu, China akan tetap mendukung kesepakatan tersebut.
Sikap AS berubah setelah Iran menguji rudal jarak menengah, Februari lalu. AS lalu menjatuhkan sanksi ekonomi baru kepada Iran. Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menilai sanksi AS secara sepihak yang diberikan kepada Iran itu melanggar aturan dan merusak segala upaya kolektif komunitas internasional.