Penampilan Trump di PBB Jadi Sorotan
NEW YORK, KOMPAS — Pidato Presiden Amerika Serikat Donald Trump dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, AS, Selasa (19/9) ini, akan menjadi sorotan. Isu pengungsi Myanmar, rudal Korea Utara, dan kesepakatan nuklir Iran diprediksi mengemuka dalam sidang.
Sebanyak 193 kepala negara, kepala pemerintahan, atau yang mewakili sudah tiba di New York menghadiri sidang tahunan. Delegasi Indonesia dipimpin Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang tiba di New York hari Minggu malam. Wartawan Kompas, Andy Riza Hidayat dan Mh Samsul Hadi, dari New York melaporkan, Kalla dan delegasi Indonesia juga membawa misi menggalang dukungan agar Indonesia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Sidang Umum PBB kali ini berlangsung dalam situasi yang berbeda dari sebelumnya. Dunia dihadapkan pada sejumlah persoalan serius, di antaranya konflik Semenanjung Korea dan krisis kemanusiaan di Myanmar. Negara-negara juga ingin melihat lebih jauh komitmen Trump ikut mengatasi masalah dunia. "Dunia juga menunggu apakah Presiden Trump akan memaparkan materi kampanye di sidang umum kali ini atau tidak," kata Kalla.
Trump, yang baru delapan bulan memerintah, akan menjadi sorotan, terutama karena pernyataannya yang kerap sangat kritis terhadap PBB. Antara lain dia mengatakan lembaga ini hanya tempat berkumpul dan bersenang-senang. Trump dengan program pemerintahannya yang mengutamakan Amerika, atau America first, menyatakan akan memperhitungkan kembali kontribusi AS yang dinilainya terlalu besar untuk membiayai PBB.
"Kita selalu merasa bahwa ini merupakan pidato yang sangat diperhatikan," kata Ben Rhodes, penasihat utama mantan Presiden AS Barack Obama dan dipercaya membuat delapan pidato Obama di PBB. "Satu baris pidato di Majelis Umum bisa memberi sinyal prioritas baru terhadap isu penting, arah kebijakan baru, dan mengirim pesan terhadap komunitas diplomatik dalam beberapa bulan mendatang," katanya.
Isi pidato Trump akan lebih diperhatikan dibandingkan dengan para pendahulunya. Apalagi setelah Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley berupaya keras memotong anggaran penjaga perdamaian sebanyak 600 juta dollar AS, inisiatif yang ditanggapi dingin oleh Perancis dan Rusia.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, pemotongan anggaran bisa menciptakan "masalah yang tak terpecahkan". Dia bertekad merombak birokrasi PBB dan berharap para pemimpin yang hadir dalam sidang bisa menandatangani dukungan untuk reformasi.
Isu penting
Sejumlah isu penting yang akan hangat dibicarakan terutama pengungsi Myanmar, peluncuran rudal Korut, dan kesepakatan pembatasan nuklir Iran yang akan ditinjau ulang pemerintahan Presiden Trump.
Menteri Luar Negeri Inggris Boris Johnson akan menjadi tuan rumah pertemuan tentang militer di Myanmar. PBB menyebut tindakan militer Myanmar sebagai "pembasmian etnis" setelah sekitar 400.000 warga Rohingya mengungsi. Diplomat Inggris mengatakan, pertemuan tertutup akan dihadiri perwakilan Myanmar dan juga menteri luar negeri dari sejumlah negara yang menginginkan berakhirnya kekerasan di Myanmar.
Korut menjadi isu besar setelah Pyongyang meluncurkan rudalnya tanpa peduli kecaman internasional. Trump bahkan sudah berulang kali menyatakan akan mengambil langkah terhadap uji coba rudal balistik Korut. Gedung Putih menyatakan tak sabar dengan sikap Pyongyang dan menyalahkan China yang dianggap kurang keras berupaya membendung aksi Korut. Dalam bulan September saja Korut dua kali meluncurkan rudal melewati wilayah udara Jepang.
Adapun isu kesepakatan dengan Iran mencuat setelah Trump mengatakan Washington akan meninggalkan kesepakatan yang sudah dibuat di era Obama jika badan PBB tidak cukup tegas melakukan monitoring. Iran sebaliknya menyatakan, ancaman terbesar atas kesepakatan tahun 2015 itu justru sikap bermusuhan Pemerintah AS.
Cuaca New York dilaporkan cerah. Kesibukan sudah terlihat sejak di Bandara John F Kennedy saat otoritas bandara memisahkan delegasi resmi dengan warga biasa. Di luar bandara, massa berdemonstrasi memprotes kehadiran Perdana Menteri Banglades Sheikh Hasina terkait isu pengungsi Rohingya.
(AFP/AP/REUTERS/RET)