Minggu (23/7), J-10 China mencegat pesawat pengintai milik Angkatan Laut AS, EP-3, di atas perairan sebelah barat Semenanjung Korea. Insiden itu seolah mengulang insiden Mei lalu ketika pesawat pendeteksi nuklir WC-135 milik AS dicegat dua pesawat tempur SU-30 China di atas Laut China Selatan (LCS). Di bulan yang sama, P-3 AS juga dicegat J-10 China di wilayah yang sama. (Kompas, 26-7-2017)
Terkait semua itu, Washington selalu mengatakan, kehadiran pesawat-pesawatnya di LCS merupakan bagian dari kebebasan navigasi dan terbang lintas di wilayah perairan internasional. Sementara Beijing meminta AS agar menghentikan provokasi itu. Sebagaimana diketahui, Beijing merasa berhak untuk menerapkan zona identifikasi di kawasan LCS yang mereka klaim sebagai bagian dari wilayah China.
Di kawasan, insiden-insiden itu adalah salah satu dari sekian banyak persoalan yang saat ini dihadapi, selain sengketa wilayah serta isu uji coba rudal balistik dan pengembangan senjata nuklir oleh Pyongyang.
Posisi Australia
Beberapa waktu lalu, menanggapi sejumlah pertanyaan yang diajukan Kompas terkait isu di kawasan Asia Tenggara—termasuk isu Laut China Selatan—Atase Pertahanan Australia Laksamana Pertama Robert Plath mengatakan, keamanan dan kesejahteraan Australia, salah satunya, bergantung pada stabilitas di kawasan Indo-Pasifik dan pelaksanaan tata aturan yang berbasis kesepakatan internasional. Menurut Plath, kehadiran AS di kawasan adalah bagian dari instrumen untuk mendukung stabilitas kawasan. Kehadiran itu, menurut dia, berpengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi di kawasan dan global.
Menurut Plath, sebagai salah satu kekuatan utama di Pasifik, AS memainkan peran penting untuk memastikan keamanan di kawasan Indo-Pasifik. AS, lanjutnya, memiliki perhatian pada kawasan itu. Sebagaimana AS, Australia juga memiliki perhatian besar pada isu kebebasan navigasi dan penerbangan serta perdagangan tanpa rintangan. ”Sekitar 70 persen ekspor Australia dan 40 persen impor Australia tahun 2016 melintasi kawasan Laut China Selatan,” katanya.
Secara berkala dan terus-menerus—di bawah ketentuan hukum internasional—Angkatan Bersenjata Australia berlatih terkait dengan isu kebebasan navigasi dan penerbangan. Langkah itu diambil untuk memastikan perdamaian dan stabilitas kawasan internasional agar tetap terjaga.
Oleh karena itu, Australia juga memilih tidak berpihak dalam isu klaim teritorial karena sengketa antara negara pengklaim di Laut China Selatan berpotensi memicu ketegangan dan ketidakpastian di kawasan. Plath mengatakan, Australia memilih untuk mengedepankan penghormatan pada hukum internasional dan perdamaian.
”Australia mendesak semua negara yang memiliki klaim mengambil langkah untuk meredakan ketegangan, membangun sikap saling percaya, dan menahan diri dari tindakan-tindakan provokatif,” kata Plath.
Dengan terbuka Plath juga menjelaskan tentang kuatnya kemitraan strategis AS-Australia, khususnya dalam bidang pertahanan. Australia, yang bersama AS pada tahun 1951 menandatangani Pakta ANZUS—kesepakatan kerja sama pertahanan—akan terus meningkatkan dan memperkuat kemitraan mereka dengan AS. Tahun depan, AS dan Australia akan memperingati 100 tahun Pertempuran Hamel di mana tentara AS dan Australia bahu-membahu bertempur—untuk pertama kalinya—di bawah komando Jenderal Sir John Monash, perwira tinggi Australia. Peringatan itu merupakan salah satu dari kerja sama pertahanan kedua negara yang sejak Perang Dunia I kerap turun bersama dalam berbagai medan operasi.
Di sisi lain, meskipun memiliki sejarah kemitraan pertahanan yang kuat dengan AS dan kerap mengkritik Beijing atas sikap asertifnya di Laut China Selatan, Canberra tetap membuka diri pada China. ”Selama tiga tahun terakhir, Angkatan Bersenjata Australia menggelar latihan ketahanan hidup secara trilateral dengan marinir AS yang bertugas di Darwin, Angkatan Darat AS, dan Tentara Pembebasan Rakyat China,” kata Plath.
Latihan bertajuk KOWARI itu, menurut dia, merefleksikan komitmen bersama ketiga negara terhadap stabilitas regional dan sikap saling pengertian. ”KOWARI memungkinkan kami untuk bekerja bersama dengan sekutu kami, AS, dan mitra perdagangan terbesar kami, China, untuk mengembangkan jejaring militer pada tingkat kerja,” ujar Plath.
Sebagaimana Australia, setiap negara di kawasan dituntut untuk mengambil sikap dan posisi. Indonesia, sebagaimana beberapa kali ditegaskan Menlu Retno LP Marsudi dalam menyikapi sejumlah kasus di kawasan, menempatkan juga langkah damai dan konstruktif sebagai upaya utama membangun stabilitas di kawasan. Jakarta lebih memilih untuk mengedepankan diplomasi dan penghormatan pada tata hukum internasional sebagai medan menyelesaikan perkara.
(B Josie Susilo Hardianto)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.