Ketika pagi ini, Jumat, 19 Mei 2017, rakyat Iran memberikan suara untuk memilih seorang presiden, pada saat itulah mereka menentukan masa depan negerinya. Apakah rakyat akan mempercayakan pemerintahan kepada kaum principlist, front konservatif, atau kepada kaum moderat-reformis?
Selama lebih dari 10 tahun terakhir, rakyat Iran menyaksikan, mengalami, dan merasakan bagaimana Iran di bawah kaum konservatif dan bagaimana di bawah reformis. Selama delapan tahun, Iran di bawah kepemimpinan Mahmoud Ahmadinejad dari kubu konservatif, bahkan sering disebut konservatif berhaluan keras. Dan, empat tahun terakhir, Iran dikemudikan oleh Hassan Rouhani, seorang reformis-moderat.
Tampilnya Ahmadinejad—presiden dua periode, 2005-2013—dicatat sebagai kemenangan populisme generasi baru kaum konservatif Iran. (Ali M Ansari: 2007) Dalam menjalankan roda pemerintahan, Ahmadinejad memilih pendekatan konfrontasi dan radikal, terutama di panggung politik internasional. Tokoh yang sangat berpengaruh dalam revitalisasi politik kaum konservatif garis keras, yaitu ulama senior Ayatollah Misbah-Yazdi.
Di zaman Ahmadinejad itulah, Iran menjadi sorotan dunia karena terutama kebijakan luar negerinya yang cenderung "melawan" arus besar, terutama dalam program nuklir; meskipun pada saat yang bersamaan ia menggalang kekuatan atau menjalin hubungan baik dengan negara-negara Timur Tengah dan Islam.
Kemenangan Rouhani pada Pemilu 2013 telah mengubah "wajah" Iran. Rouhani memenangi pertarungan dengan membawa moto "kebijaksanaan dan harapan" serta tiga pilar utama: pengakhiran isolasi diplomatik Irak, penyadaran perekonomiannya, serta peningkatan kebebasan politik dan sosial. (Annalisa Perteghella: 2015) Dengan memilih simbol kampanye "Diplomat Sheikh", Rouhani berjanji membuka pintu Republik Islam Iran.
Dengan tercapainya kesepakatan dengan P5+1 (lima negara anggota tetap DK PBB—AS, Perancis, China, Inggris, dan Rusia— plus Jerman) mengenai program nuklir pada 14 Juli 2015 di Vienna, Austria, salah satu "janji" Rouhani tergenapi. Sejak saat itu, pintu Iran terbuka; isolasi diplomatiknya berakhir. Inilah kemenangan jalan diplomasi yang dipilih Rouhani dalam usaha menyelesaikan masalah nuklir dan membawa Iran kembali ke percaturan dunia.
Kesepakatan tersebut disambut hangat dan penuh kepuasan baik di dalam maupun luar Iran. Publik Iran yang sudah merasa begitu letih karena sanksi ekonomi dan isolasi diplomatik selama lebih dari satu dekade, mengungkapkan kelegaannya setelah kesepakatan Vienna. Meskipun dampak dari kesepakatan itu tidak segera mereka rasakan, mereka melihat ada harapan di hadapan mereka. Apalagi, capaian tersebut mendapat dukungan pemimpin tertinggi spiritual Iran, Ayatollah Ali Khamenei,
Pemimpin Tertinggi
Dengan modal itulah, antara lain, Rouhani bertarung mempertahankan kursi presiden melawan saingan terberatnya dari kubu konservatif, mantan Jaksa Agung Ebrahim Raisi.
Di Iran, panggung politik secara garis besar dibagi menjadi dua: kubu konservatif dan kubu reformis. Tetapi, semua pihak, semua kubu, tidak peduli kubunya apa, harus patuh pada Republik Islam Iran. (Alan Salehzadeh: 2013)
Pertama, kedua kubu ada di bawah subordinasi Pemimpin Tertinggi Khamenei. Itu berarti, mereka tidak memiliki kekuasaan riil pada dirinya, dan mereka tidak dapat bertindak menyimpang dari prinsip-prinsip yang sudah digariskan oleh Khamenei. Kedua, kedua kubu ingin bertindak menurut legislasi Iran dan mempertahankan serta melindungi prinsip-prinsip Republik Islam Iran. Ketiga, kedua belah pihak ingin membatasi tingkat kebebasan rakyat.
Keempat, tidak satupun dari dua kubu politik memperjuangkan persamaan dan hak-hak kelompok-kelompok tertindas seperti perempuan, etnik atau agama minoritas dan minoritas seksual berbeda. Kelima, tak satu pun pihak menerima eksistensi Irak, dan kedua kubu berharap Iran terus melanjutkan pengembangan senjata nuklir.
Dengan kata lain, pemimpin tertinggi memainkan peran sangat penting, bahkan paling penting dalam menentukan arah masa depan Iran. Arah masa depan akan sangat ditentukan oleh dinamika intra-faksional dan peranan khas Pemimpin Tertinggi. Kaum reformis—dalam hal ini diwakili oleh sosok Rouhani—dapat memenangi pemilu bila Pemimpin Tertinggi "mengizinkan" memberikan restunya.
Restu itu akan turun manakala sejumlah syarat terpenuhi. Misalnya, perekonomian nasional dalam kondisi terpuruk atau kebijakan domestik dan luar negeri Iran dalam situasi krisis. Sebagai contoh, tokoh reformis Mohammad Khatami dipilih menjadi presiden 1997, ketika Iran secara ekonomi menghadapi persoalan sangat berat, dan banyak masalah domestik juga hubungan luar negeri menemui banyak persoalan. Hal yang sama terjadi, ketika Rouhani terpilih. Kondisi Iran "parah" baik secara nasional maupun internasional sebagai akibat kebijakan Ahmadinejad yang konfrontasional.
Dari sini, kita bisa meraba-raba ke mana restu Pemimpin Tertinggi akan dijatuhkan, setelah sanksi dibuka, isolasi dengan dunia luar runtuh, dan perekonomian mulai menggeliat lagi: kepada tokoh reformis Rouhani atau konservatif Ebrahim Raisi.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.