Revolusi Bunga
A Flower Does Not Talk
Silently a flower blooms,
In silence it falls away;
Yet here now, at this moment, at this place,
the whole of the flower, the whole of
the world is blooming.
This is the talk of the flower, the truth
of the blossom:
The glory of eternal life is fully shining here.
Zenkei Shibayama
Zenkei Shibayama (1894-1974), seorang imam Rinzai Zen, Jepang. Di India, Zen disebut Dhyana, di Korea disebut Seon, di Vietnam Thien, dan di China Chan. Zen termasuk dalam agama Buddha. Oleh karena itu, ketika orang mempelajari Zen secara tidak langsung juga mempelajari agama Buddha. Zen merupakan aspek Buddha Mahayana yang mengkhususkan dirinya pada meditasi. Puncak praktik Zen adalah meditasi dengan duduk dalam posisi lotus (posisi bersila). Di kalangan orang Zen, meditasi ini disebut Za-zen. Shibayama juga dikenal sebagai seorang ilmuwan Buddha yang menjabat guru besar di Universitas Hanazono dan Universitas Otani. Keduanya kolese Buddha.
Shibayama, seperti Rumi—nama lengkapnya Moulana Muhammad Jalaluddin Rumi, seorang sufi yang lahir pada 30 September 1207, di Balk, Khorasan, sekarang masuk wilayah Afganistan—mengungkapkan isi hatinya lewat bunga. Mereka membaca kondisi masyarakat dengan menggunakan metafora bunga. Rumi, misalnya, dalam puisinya menulis:
Bunga tulip memang indah menawan:
Di taman ada beratus-ratus kekasih nan menawan
Bunga mawar dan bunga tulip menari berputar-putar
Di anak sungainya mengalir air bening,
Semuanya ini hanyalah helat (dalih)--itulah Dia!
Rumi juga menulis:
Desember dan Januari berlalu
Tulip bermunculan. Ini saatnya menikmati
bagaimana pohon bergoyang ditiup angin
dan mawar tak pernah istirahat.
Metafora sangat penting dalam semua aspek kehidupan. Metafora terutama diterapkan dalam politik. Karena politik dan diskursus politik adalah domain kompleksitas dan keniskalaan tinggi. Dan, ”metafora”, seperti dikatakan oleh Elena Semino, ”dapat memberikan jalan, cara, untuk menyederhanakan kompleksitas dan membuat keniskalaan dapat diterima”. Atau menurut Seth Thompson, ”politik tanpa metafora seperti ikan tanpa air” (Ludmila Torlakova: 2014).
Lewat puisinya, Shibayama barangkali ingin mengatakan, ”Jadilah seperti bunga. Ia tidak pernah sombong, menyombongkan diri, tidak banyak omong. Ia mekar, secara diam-diam, dan layu pun secara diam-diam”. Ketika mekar dengan warna yang begitu indah dan harum mewangi, bunga pun tidak pernah bermaksud menjadi yang lebih hebat dibandingkan dengan bunga lainnya, yang kurang indah, dan tidak harum mewangi. ”Bunga tidak pernah berpikir bersaing dengan bunga lainnya. Ia mekar, mekar begitu saja,” tulis Shibayama.
Karena persaingan, kompetisi, bisa memunculkan benih-benih permusuhan, membunuh persaudaraan, dan bisa saling menghancurkan. Tujuan persaingan adalah untuk menang. Dan, tidak jarang untuk merebut kemenangan dilakukan dengan segala cara, segala jalan, bahkan jalan dan cara yang sangat tidak pantas, jalan yang melukai kemanusiaan, jalan kecurangan, jalan kemunafikan. Pendek kata, ”menghalalkan segala cara”, menurut istilah Niccolo Machiavelli. Meskipun sebenarnya dalam Il Principe, apa yang dianjurkan Machiavelli adalah didorong oleh tekad untuk mencapai persatuan Italia daripada sekadar mengabaikan nilai-nilai moral. Akan tetapi, dalam praktiknya sekarang ini, ”nilai-nilai moral” itulah yang diabaikan demi kemenangan yang berujung dengan diraihnya kekuasaan.
Itulah sebabnya, karena tidak menginginkan kekerasan dan menghendaki perdamaian, gerakan melawan rezim diktator Marcello Caetano, penguasa Portugal (25 April 1974), disebut Revolusi Anyelir (Carnation Revolution). Revolusi mengakhiri secara damai pemerintahan Caetano dan Estado Novo atau Republik Kedua, yang didirikan pada tahun 1933. Revolusi Anyelir menghasilkan konstitusi baru bagi Portugal dan mengakhiri kolonialisme Portugal, juga kebebasan sipil yang sebelumnya di zaman pemerintahan Caetano dilarang.
Sama halnya, revolusi penyingkiran diktator Tunisia Zine al-Abidine Ben Ali disebut sebagai Revolusi Melati (Jasmine Revolution). Revolusi Melati adalah suatu pergolakan rakyat di Tunisia yang memprotes korupsi, kemiskinan, dan represi politik di bawah rezim Ben Ali. Gerakan rakyat ini pada akhirnya berhasil menjatuhkan Ben Ali, Januari 2011. Keberhasilan Revolusi Melati inilah yang menginspirasi revolusi-revolusi lainnya di negara-negara Arab, yang kemudian disebut sebagai Musim Semi Arab.
Sebenarnyalah, tulis Ludmila Torlakova, penggabungan jasmine (melati) dan revolution (revolusi) adalah dua konsep yang mustahil. Revolusi diasosiasikan sebagai menghancurkan tatanan yang mapan, kekerasan, dan merusak. Di sisi lain, melati adalah bunga yang secara tradisional dalam budaya Arab, dan dalam budaya lainnya, diasosiasikan dengan wewangian yang menyenangkan, kecantikan, dan kelembutan, kehalusan. Melati adalah bunga simbol Tunisia dan yang berarti ”kemurnian, keindahan kehidupan, dan toleransi.”
Delapan tahun sebelumnya, di Georgia, meletuslah Revolusi Mawar (2003) setelah pemilu yang berujung pada tersungkurnya Presiden Eduard Shevardnadze. Dua tahun kemudian, 2005, terjadi Revolusi Tulip di Kirgistan. Pada tahun yang sama, antara Februari dan April 2005, pecah Revolusi Cedar di Lebanon sebagai ujung dari sengketa pemilu. Revolusi Musim Semi di Mesir sering pula disebut sebagai Revolusi Lotus, sebuah revolusi yang memaksa secara damai Presiden Hosni Mubarak turun.
Mereka memilih nama bunga untuk memberi nama revolusi mereka. Karena, mereka menolak kekerasan, menolak pertumpahan darah, apalagi nyawa. Mereka tidak mau menyakiti, baik dengan omongan maupun tindakan. Mereka tidak menghendaki perpecahan negeri karena ambisi. Bukankah bunga mempercantik dirinya dengan bersatu dengan bunga-bunga lainnya di pohon. Mereka tidak melukai satu sama lain. Dan, pohon yang melahirkan, menyangganya, juga tidak merasa disakiti. Bunga menciptakan lingkungan yang indah, karena bunga adalah persaudaraan. Bunga adalah harmoni.
Benar yang ditulis oleh Shibayama bahwa bunga mengatakan kebenaran; ia tidak pernah berpura-pura. Bunga adalah kejujuran. Ia tidak pernah menipu. Dan, bunga indah dari sejak semula.