Hubungan antara Turki dan Belanda tegang. Situasi ini muncul akibat sikap Pemerintah Belanda yang menolak kedatangan dua menteri Turki untuk berkampanye pada akhir pekan lalu di kalangan imigran Turki di Belanda terkait rencana referendum konstitusi negara itu.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan marah dengan sikap Belanda tersebut. Sebaliknya, PM Belanda Mark Rutte tak mau kalah. Ia tetap pada pendiriannya dan menegaskan bahwa larangan itu bertujuan mencegah ketegangan di antara imigran Turki yang tinggal di Belanda.
Para imigran dinilai selama ini telah terbelah antara yang mendukung dan menolak referendum konstitusi Turki. Referendum akan menanyai warga Turki apakah mereka setuju konstitusi diubah sehingga sistem pemerintahan menjadi sepenuhnya presidensial, bukan parlementer seperti sekarang.
Menyusul ketegangan di antara kedua negara, kabinet Turki, Senin (13/3), mempertimbangkan untuk menerapkan sanksi terhadap Belanda, yang sama-sama dengan Turki merupakan anggota aliansi militer NATO.
BBC, Selasa (14/3), melaporkan, Turki pada Senin mengumumkan sejumlah langkah pembalasan terhadap Belanda yang menolak Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu dan Menteri Kebijakan Sosial dan Keluarga Fatma Betul Sayan Kaya untuk datang ke negara itu. Menurut Deputi PM Turki Numan Kurtulmus, Duta Besar Belanda yang sedang cuti akan dilarang kembali ke Turki. Selain itu, Turki juga menghentikan sejumlah pembicaraan tingkat tinggi di antara kedua negara.
Mengapa pejabat Turki dilarang berkampanye di Belanda?
Turki satu bulan lagi menggelar referendum untuk mengubah konstitusi mereka. Perubahan ini secara signifikan akan menambah besar kekuasaan Presiden Erdogan. Survei memperlihatkan persaingan akan ketat. Partai berkuasa yang merupakan tempat Erdogan bernaung berusaha keras menambah pendukung jawaban ” ya” dengan cara merangkul kaum diaspora. Ada sekitar 400.000 orang asal Turki yang tinggal di Belanda. Kebanyakan dari mereka berimigrasi sebagai ”pekerja tamu” pada 1960-an.
Mengapa Belanda melarang kampanye?
Pemerintah Belanda menyatakan, mereka mencabut izin mendarat bagi pesawat Turki yang membawa Menlu Cavusoglu dengan pertimbangan bahwa hal itu meningkatkan risiko terhadap ”keamanan dan ketertiban publik”. Beberapa jam kemudian, Menteri Fatma Betul Sayan Kaya dicegah datang ke Konsulat Turki di Rotterdam lewat jalur darat.
Bagaimana reaksi Turki?
Dalam demonstrasi di Istanbul pada Sabtu pekan lalu, Erdogan menyamakan Belanda dengan ”sisa-sia Nazi”. Erdogan mengatakan, ”Mereka adalah fasis”. Ini merupakan kali kedua Erdogan menyamakan sebuah negara dengan Nazi.
Tudingan pertama diberikan Turki kepada Jerman setelah otoritas lokal negara itu membatalkan kegiatan kampanye yang dihadiri pejabat Turki dengan pertimbangan untuk menjaga keamanan. Kanselir Jerman Angela Merkel meresponsnya pada Senin lalu dengan menyatakan bahwa Belanda memiliki dukungan dan solidaritas penuh dari dirinya.
Adapun Denmark meminta PM Turki Binali Yildrim menunda rencana kunjungannya akibat ketegangan antara Turki dan Belanda tersebut. Kandidat presiden Perancis, Emmanuel Macron, menyerukan agar ada respons yang seragam dari negara-negara Eropa terhadap komentar yang tak bisa diterima yang disampaikan penguasa Turki.
Mengapa Jerman bersikap lebih lunak?
Meskpiun terjadi perang pernyataan yang cukup keras antara Ankara dan Berlin, Jerman tetap bersikeras bahwa mereka tidak memiliki rencana untuk menerapkan larangan terhadap pejabat Turki untuk berkampanye. Jerman juga bersikap lebih sejuk dengan menyebutkan bahwa Turki seharusnya dihukum dengan bentuk lain.
Sikap lunak Jerman muncul karena ada banyak orang Turki di negara itu. Tercatat, ada lebih dari 3 juta imigran, yang sekitar 1,4 juta orang di antaranya memiliki hak memberikan suara dalam refendum konstitusi.
Alasan lainnya, Jerman memerlukan bantuan Turki untuk menahan aliran pengungsi ke Eropa. Sejauh ini, perjanjian antara Uni Eropa dan Turki dilihat sebagai penyebab utama aliran migran menuju Eropa menjadi berkurang cukup drastis selama beberapa bulan terakhir.