Sebagian masyarakat masih menganggap pembicaraan soal menstruasi sebagai hal yang tabu. Ini membuat manajemen kebersihan menstruasi pun menjadi tidak optimal.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian masyarakat masih menganggap pembicaraan soal menstruasi merupakan hal yang tabu. Itu membuat banyak anak perempuan tidak memiliki pengetahuan yang cukup ketika pertama kali mendapatkan menstruasi. Praktik manajemen kebersihan menstruasi yang dilakukan pun menjadi tidak optimal.
Direktur Eksekutif Plan Indonesia Dini Widiastuti menuturkan, menstruasi masih dianggap sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan karena dianggap sebagai hal yang negatif, memalukan, dan kotor. Pemahaman yang keliru ini pun diperburuk dengan keterbatasan akses informasi mengenai menstruasi.
”Orangtua sebenarnya menjadi sumber informasi utama dari anak terkait manajemen kebersihan menstruasi. Namun, anggapan soal menstruasi yang tabu membuat informasi soal kebersihan menstruasi ini justru baru disampaikan setelah anak mendapatkan menstruasi,” tuturnya dalam acara peringatan Hari Kebersihan Menstruasi Sedunia di Jakarta, Sabtu (28/5/2022).
Berdasarkan studi kasus yang dilakukan oleh Yayasan Plan Indonesia dengan Smeru pada 2018, hanya 13,6 persen orangtua yang memberikan informasi tentang menstruasi dan manajemen kebersihan menstruasi sebelum anaknya mendapatkan menstruasi. Selain itu, tidak ada orangtua yang memberikan informasi soal menstruasi ke anak laki-laki.
Karena itu, tidak jarang ditemukan anak perempuan yang masih bingung ataupun takut ketika pertama kali mendapatkan menstruasi. Padahal, menstruasi merupakan hal yang lumrah dialami oleh setiap perempuan.
Mitos-mitos pun masih banyak ditemukan, seperti larangan berkeramas ketika sedang menstruasi, larangan masuk ke dapur ketika menstruasi, serta adanya larangan untuk melakukan aktivitas lain. Sejumlah anak perempuan yang pertama mendapatkan menstruasi pun diketahui menjadi sasaran perundungan temannya.
Anggapan soal menstruasi yang tabu membuat informasi soal kebersihan menstruasi ini justru baru disampaikan setelah anak mendapatkan menstruasi.
Dini menyampaikan, pendidikan mengenai manajemen kebersihan menstruasi sebaiknya sudah diberikan sejak usia dini. Pada awal usia sekolah dasar, anak sudah perlu diperkenalkan mengenai menstruasi.
Setelah itu, kenalkan pula bagaimana menggunakan pembalut juga bagaimana mengakses pembalut yang benar. Cara mengganti dan membuang pembalut pun perlu diajarkan sejak dini beserta dengan pentingnya mencuci tangan setelahnya.
”Kolaborasi multipihak diperlukan untuk memastikan sosialisasi MKM (manajemen kebersihan menstruasi) bisa lebih optimal, terutama di tingkat sekolah. Kesadaran yang baik ini diharapkan juga dapat mendukung peningkatan fasilitas MKM yang baik,” ucap Dini.
Hasil studi Yayasan Plan Indonesia dan Smeru pada 2018 juga menemukan, sebanyak 79 anak perempuan yang menjadi respoden mengaku tidak pernah mengganti pembalut di sekolah. Penyebabnya, antara lain, karena merasa tidak nyaman, tidak tersedia air bersih, tidak tersedia toilet yang cukup, serta toilet yang tidak terpisah antara laki-laki dan perempuan.
Dewan Pembina Yayasan Plan Internasional Indonesia Kus Hardjanti menambahkan, tantangan lain yang juga ditemukan terkait manajemen kebersihan menstruasi ialah akses pada produk menstruasi berkualitas yang terbatas. Di sejumlah negara, produk menstruasi tidak mendapatkan beban pajak sehingga harganya menjadi lebih terjangkau.
Miss Universe 2021 Harnaaz Kaur Sandhu menyampaikan, anggapan tabu mengenai menstruasi juga ditemui di negara asalnya, India. Hal ini membuat anak perempuan tidak nyaman untuk menceritakan pengalaman menstruasinya kepada orang lain, bahkan kepada ibunya sendiri.
”Stigma pada perempuan yang mengalami menstruasi perlu dihapus sehingga setiap anak perempuan merasa lebih nyaman untuk mengatasi kesehatan menstruasi mereka. Menstruasi merupakan hal yang normal yang perlu dibicarakan. Jangan sampai stigma ini membuat perempuan menjadi tidak berdaya,” katanya.