Perubahan Cuaca Ekstrem Kian Teramati di Asia Tenggara
Perubahan cuaca hingga fenomena cuaca ekstrem akibat dampak dari perubahan iklim kian teramati di wilayah Asia Tenggara. Dampak perubahan iklim ini akan terus meningkat baik kejadian maupun intensitasnya.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·3 menit baca
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA (BAH)
Kawasan permukiman dilanda hujan deras di Kota Surabaya, Jawa Timur, Senin (8/2/2021). Curah hujan yang intens dan berdurasi lama membuat sejumlah wilayah rentan bencana hidrometeorologi.
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan cuaca hingga fenomena cuaca ekstrem akibat dampak dari perubahan iklim kian teramati di wilayah Asia Tenggara dalam beberapa waktu terakhir. Sejumlah kejadian yang teramati meningkat intensitasnya, yaitu fenomena panas ekstrem, hujan lebat, dan kenaikan permukaan air laut.
Perubahan cuaca ekstrem di wilayah Asia Tenggara ini terangkum dalam laporan penilaian keenam (AR6) yang disusun Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC). Laporan yang melibatkan 278 penulis dari 65 negara ini diluncurkan pada April 2022.
Penulis utama AR6 Kelompok Kerja I IPCC yang juga Kepala Laboratorium Sistem Ilmu Iklim Regional Manila Observatory, Filipina, Faye Cruz mengemukakan, perubahan iklim telah memengaruhi setiap wilayah di Bumi, tak terkecuali negara-negara di Asia Tenggara. Dampak perubahan iklim ini akan terus meningkat baik kejadian maupun intensitasnya.
Lautan telah menghangat tanpa henti sejak 1970 dan menyerap lebih dari 90 persen suhu panas dalam sistem iklim.
”Di Asia Tenggara, dampak dari perubahan iklim yang teramati ini yaitu meningkatnya intensitas cuaca panas ekstrem, hujan lebat, berkurangnya siklon tropis, dan kenaikan permukaan air laut. Kejadian ini akan berdampak terhadap masyarakat karena bisa menyebabkan bencana hidrometeorologi, seperti banjir,” ujarnya dalam diskusi daring, Senin (23/5/2022).
Contoh nyata dampak perubahan iklim ini yaitu terjadinya badai Vamco yang melanda Filipina dan Vietnam pada November 2020. Sebanyak 5 juta orang dilaporkan terkena dampak dari kejadian ini. Negara lain, seperti Kamboja, Laos, dan Thailand, juga mengalami badai tropis Linfa hingga menyebabkan lebih dari 200 orang meninggal akibat banjir.
AP / AARON FAVILA
Bangunan terendam banjir karena luapan sungai yang diakibatkan badai Vamco di Marikina, Manila, Filipina, Kamis (12/11/2020). Badai tropis ke-21 yang melanda FIlipina selama tahun 2020 menyebabkan banjir besar di Manila.
Menurut Faye, pertumbuhan urbanisasi dan perubahan iklim menciptakan risiko yang kompleks, terutama bagi kota-kota yang telah mengalami pertumbuhan kota yang tidak direncanakan dengan baik. Gaya hidup masyarakat perkotaan yang tidak ramah lingkungan bahkan berkontribusi dalam memperparah tingkat pemanasan global.
Risiko iklim untuk wilayah perkotaan terus meningkat secara signifikan sejak Laporan Penilaian IPCC terakhir pada 2014. Laporan tersebut menyatakan perlunya tindakan yang harus diambil semua pihak, baik pemangku kebijakan, swasta, maupun masyarakat sipil, untuk mengintegrasikan pembangunan yang berkelanjutan.
Para penyusun laporan IPCC menyebut, di satu sisi urbanisasi memang menjadi salah satu ancaman dalam meningkatkan emisi gas rumah kaca. Akan tetapi, di sisi lain perencanaan dan pembangunan perkotaan yang berkelanjutan diyakini dapat menjadi solusi mengatasi perubahan iklim. Hal ini dapat diwujudkan jika kota-kota di dunia mengedepankan aspek adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dalam setiap program pembangunannya.
Penulis utama laporan khusus IPCC tentang lautan dan kriosfer, Lourdes Tibig, mengatakan, lautan telah menghangat tanpa henti sejak 1970 dan menyerap lebih dari 90 persen suhu panas dalam sistem iklim. Hal ini mengakibatkan perubahan kimia dan mengganggu pasokan oksigen serta nutrisi bagi kehidupan laut.
Laut juga menyerap hingga 30 persen emisi karbon dioksida yang dihasilkan oleh manusia hingga menyebabkan pengasaman (pH) laut. Penurunantingkat pH dapat berefek luas pada kehidupan laut, seperti melarutkan cangkang kerang dan menyebabkan asidosis pada ikan.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK)
Setelah lebih dari sepekan mengalami kelangkaan, stok ikan di Pasar Ranai, Natuna, Kepulauan Riau, kembali berangsur normal, seperti yang ditemui pada Jumat (14/2/2020). Beberapa waktu lalu, stok ikan di pasar tersebut nyaris kosong karena tidak ada nelayan yang melaut akibat cuaca buruk.
Pada akhirnya, kondisi pemanasan dan pengasaman laut mengakibatkan biota tidak dapat mendeteksi predator dan menemukan habitat yang sesuai. Lautan yang asam juga merusak terumbu karang dan tumbuhan laut lain yang menjadi sumber makanan kehidupan laut.
”Pemanasan laut pada abad ke-20 berkontribusi menurunkan potensi tangkapan ikan. Di banyak daerah bahkan terdeteksi terjadi penurunan stok ikan dan kerang akibat dampak langsung ataupun tidak langsung dari pemanasan global,” ucapnya.
Lourdes menegaskan bahwa upaya bersama dari semua pihak sangat diperlukan untuk mencegah pemanasan dan pengasaman laut semakin parah. Sebab, negara-negara di Asia Tenggara yang sebagian di antaranya wilayah kepulauan sangat bergantung pada ekosistem laut baik untuk perikanan maupun rekreasi.