Perluasan Layanan Perlu Disambut dengan Kesadaran Deteksi Dini Kanker Serviks
Kanker serviks termasuk jenis kanker yang dapat dideteksi dini. Namun, cakupan deteksi dini kanker serviks di Indonesia amat rendah. Ini disebabkan karena kesadaran masyarakat yang masih minim.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Angka kasus kesakitan dan kematian kanker serviks di Indonesia cukup tinggi. Padahal penyakit ini dapat dicegah dan dideteksi sejak dini. Kesadaran masyarakat yang minim akan kanker serviks membuat penanggulangan penyakit tersebut menjadi tidak optimal.
Data Observasi Kanker Dunia (Globocan) menunjukkan, kanker serviks tidak masuk dalam lima besar kasus kanker yang ditemukan di tingkat global. Namun, kanker ini merupakan jenis kanker dengan jumlah insiden dan kematian tertinggi kedua yang terjadi di Indonesia setelah kanker payudara. Sebagian besar kanker serviks ditemukan pada perempuan. Kanker yang disebabkan infeksi human papilloma virus (HPV) ini juga bisa menyerang pria.
”Kanker serviks ini penyebabnya sudah diketahui dan bisa dicegah dengan vaksinasi. Selain itu, cara untuk deteksi dini juga sudah diketahui dengan berbagai cara. Namun, ironisnya masih banyak kasus di masyarakat,” kata Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia bidang Obstetri dan Ginekologi Andrijono di Jakarta, Kamis (19/5/2022).
Merujuk pada data Globocan di Indonesia pada tahun 2020 terdapat 36.633 kasus baru kanker serviks dan 21.003 kematian akibat kanker tersebut. Artinya, ada 50 kasus baru yang terdeteksi setiap hari dengan dua kematian setiap jam. Tingkat kematian yang tinggi ini disebabkan deteksi yang terlambat. Lebih dari 70 persen kasus kanker ditemukan sudah dalam stadium lanjut.
Andrijono menuturkan, kanker serviks memiliki perjalanan penyakit yang cukup panjang dari awal infeksi sampai pada menjadi kanker, yakni bisa lebih dari 8 tahun. Karena itu, upaya penapisan dengan deteksi dini bisa dilakukan sebelum mengalami perburukan.
Setidaknya ada tiga metode yang bisa dilakukan dalam penapisan kanker serviks, yaitu pap smear, IVA, dan DNA-HPV. Meski begitu, menurut Andrijono, metode penapisan dengan pap smear sebaiknya tidak digunakan untuk deteksi dini kanker serviks. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) lebih merekomendasikan metode DNA-HPV sebagai metode utama dalam penapisan kanker serviks.
Kanker serviks ini penyebabnya sudah diketahui dan bisa dicegah dengan vaksinasi. Selain itu, cara untuk deteksi dini juga sudah diketahui dengan berbagai cara. Namun, ironisnya masih banyak kasus di masyarakat.
Tingkat sensitivitas dari metode pap smear untuk mendeteksi virus human papillomavirus (HPV) yang menjadi penyebab kanker serviks hanya sebesar 55,4 persen. Sementara tingkat sensitivitas pada IVA sebesar 69-88 persen dan tingkat sensitivitas dari tes HPV-DNA sebesar 94,6 persen.
”Deteksi dini menjadi hal mutlak untuk dilakukan pada perempuan yang berisiko tertular virus HPV, terutama pada perempuan yang sudah melakukan hubungan seksual. Deteksi dini diperlukan untuk mencegah semakin banyaknya keterlambatan penanganan pada kanker serviks,” ujarnya.
Karena itu, Andrijono mendorong adanya perluasan layanan deteksi dini dari kanker serviks. Deteksi dengan HPV-DNA merupakan metode yang paling baik untuk dilakukan. Itu bisa dikombinasikan dengan metode IVA yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya lesi dari kanker.
Tes HPV-DNA kini masih terbatas. Tes ini baru bisa dilakukan di beberapa rumah sakit dan laboratorium pemeriksaan. Dalam tes ini ada sejumlah tahapan yang perlu dilakukan, seperti penapisan prakanker untuk mengidentifikasi risiko sebelum gejala muncul, tindakan kolposkopi untuk menindaklanjuti tes penapisan kanker yang abnormal, serta dilanjutkan pemeriksaan laboratorium dengan mengambil sampel sel dari leher rahim untuk mengonfirmasi adanya kanker serviks.
Deteksi dini kanker serviks yang tepat dan cepat sangat penting agar penanganan lebih lanjut bisa segera diberikan. Tingkat harapan hidup dari pasien kanker sangat tinggi jika bisa terdeteksi sejak dini. Tingkat harapan hidup dari pasien kanker serviks yang dideteksi pada stadium awal, yakni stadium satu dan dua, bisa mencapai 93 persen. Namun, jika terdeteksi sudah pada stadium lanjut, yakni stadium empat, tingkat harapan hidup hanya sekitar 15 persen.
Deteksi rendah
Kepala Substansi Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Kanker dan Kelainan Darah Kementerian Kesehatan Aldrin menuturkan, kesadaran masyarakat untuk melakukan deteksi dini di Indonesia sangat rendah. Pemerintah telah berupaya dengan memperluas layanan deteksi dini kanker serviks di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Diharapkan pada 2022 ditargetkan penapisan untuk deteksi dini kanker serviks bisa mencapai 50 persen dari total target populasi perempuan usia 30-50 tahun sebanyak 47.900 orang.
Namun, dari data Kementerian Kesehatan per Maret 2022, cakupan deteksi dini kanker serviks pada perempuan usia 30-50 tahun baru mencapai 3,8 persen. Jumlah ini menurun dari cakupan yang tercatat pada 2018-2020, yakni sebesar 8,29 persen.
”Pemerintah kini masih menggunakan metode IVA sebagai metode deteksi dini kanker serviks. Metode ini untuk menemukan adanya lesi prakanker yang nantinya jika ditemukan adanya lesi bisa langsung ditindaklanjuti oleh FKTP ataupun dirujuk ke rumah sakit,” kata Aldrin.
Ia menyampaikan, pemerintah telah menyusun sejumlah strategi untuk meningkatkan cakupan deteksi dini kanker serviks di Indonesia. Pelatihan telah dilakukan pada petugas di fasilitas pelayanan kesehatan. Selain itu, penguatan pada sarana dan prasarana deteksi dini juga dilakukan, baik di fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun tingkat lanjut.
Sebanyak 5.000 kit tes IVA tambahan telah didistribusikan di seluruh wilayah Indonesia. Lebih dari 3.000 bidan profesi pun sudah memiliki kompetensi untuk melakukan tes IVA. Tes ini pun sudah bisa dilakukan di 7.048 puskesmas.
”Diharapkan kesadaran masyarakat untuk melakukan deteksi dini pun bisa semakin besar. Oleh karena itu, promosi dan edukasi juga terus dilakukan. Kementerian Kesehatan pun sudah memasukkan layanan deteksi dini sebagai layanan terintegrasi bersama dengan program lain, seperti pemeriksaan penyakit menular seksual dan pemberian KB,” ujar Aldrin.