Deteksi Dini Hepatitis Akut Anak, Perkuat Surveilans Penyakit Kuning
Deteksi dini hepatitis akut misterius perlu ditingkatkan. Setiap daerah pun diminta meningkatkan surveilans dari penyakit kuning yang menjadi salah satu gejala hepatitis akut.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
IRMA TAMBUNAN
Pemerintah Kota Jambi mencoba mencegah penularan penyakit hepatitis akut lewat sejumlah kebijakan. Salah satunya diterapkan di sekolah lewat larangan bertukar peralatan makanan antarsiswa. Siswa di SDN 190 Kota Jambi.
JAKARTA, KOMPAS — Kasus yang diduga hepatitis akut misterius mulai dilaporkan di sejumlah daerah. Setidaknya sudah ada 15 kasus suspek terkait penyakit tersebut. Deteksi dini pun perlu lebih digencarkan di semua daerah, terutama dengan memperkuat surveilans penyakit kuning yang menjadi gejala dari hepatitis akut tersebut.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi ketika dihubungi di Jakarta, Selasa (10/5/2022), menuturkan, sebanyak 15 kasus suspek hepatitis akut yang belum diketahui penyebabnya telah dilaporkan di Indonesia. Sebanyak empat kasus sudah masuk dalam kategori menunggu klasifikasi (pending classification).
”Dari 15 kasus suspek, tujuh kasus berusia 6-20 tahun dan delapan kasus berusia di bawah enam tahun. Empat kasus yang masuk kategori pending classification masih menunggu hasil pemeriksaan adenovirus dan hepatitis E,” tuturnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah membuat klasifikasi atas kasus yang diduga dengan hepatitis akut misterius. Kasus masuk dalam kategori probable (kemungkinan) jika berdasarkan hasil pemeriksaan tidak ditemukan adanya penularan hepatitis A,B,C,D, dan E; enzim hati berdasarkan pemeriksaan SGOT/SGPT lebih dari 500 internasional unit per liter (IU/L); serta berusia 16 tahun ke bawah. Sementara kasus yang masuk dalam kategori Epi-linked apabila dari hasil pemeriksaan tidak ditemukan hepatitis A,B,C,D, dan E serta kontak erat dengan kasus probable.
Jika ada kasus dari pemeriksaan SGOT/SGPT lebih dari 500 IU/L, tetapi masih menunggu hasil pemeriksaan hepatitis A,B,C,D, dan E, kasus tersebut akan masuk dalam kategori klasifikasi yang tertunda. Sementara ini, belum ada kasus yang masuk dalam kategori terkonfirmasi karena belum ditemukan penyebab pasti dari hepatitis akut yang menular pada anak ini.
Dari 15 kasus suspek, tujuh kasus berusia 6-20 tahun dan delapan kasus berusia di bawah enam tahun. Empat kasus yang masuk kategori pending klasifikasi masih menunggu hasil pemeriksaan adenovirus dan hepatitis E.
Nadia menuturkan, kasus suspek hepatitis akut misterius dilaporkan dari sejumlah daerah. Sebanyak 11 kasus dilaporkan di DKI Jakarta, sementara kasus lain dilaporkan di Jawa Barat, Jawa Timur, Bangka Belitung, dan Sumatera Barat. Dari empat kasus dengan status pending classification, tiga kasus merupakan kasus meninggal yang sebelumnya dirawat di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta dan satu kasus berasal dari Tulung Agung, Jawa Timur.
”Kami terus meminta seluruh daerah untuk meningkatkan surveilans dari demam kuning atau sindrom kuning. Deteksi dini juga perlu ditingkatkan oleh masyarakat dengan mengenali tanda dan gejala dari hepatitis akut,” ujarnya.
Gejala yang banyak ditemukan pada hepatitis akut ini ialah mual, muntah, diare berat, buang air besar berwarna putih/pucat, dan air kencing berwarna pekat seperti teh. Selain itu, gejala lain adalah peningkatan enzim hati dengan pemeriksaan SGOT/SGPT yang lebih dari 500 IU/L serta mata dan kulit menguning (sindrom jaundice). Pada kasus dengan gejala berat bisa menyebabkan kejang dan penurunan kesadaran.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Siswa-siswi SD di Kendari, Sultra, berbelanja makanan di kantin dekat sekolah tanpa pengawasan ketat, Selasa (10/5/2022). Kasus hepatitis akut yang menyerang anak-anak bermunculan di banyak tempat di Jawa. Meski begitu, pihak sekolah di Kendari belum mendapatkan pemahaman menyeluruh terkait kasus ini dan melaksanakan pembelajaran normal.
Nadia menambahkan, pemeriksaan untuk identifikasi hepatitis akut misterius di Indonesia kini masih terkendala kapasitas laboratorium. Sejumlah reagen yang diperlukan masih harus diimpor. ”Ada reagen untuk pemeriksaan adenovirus dan hepatitis E yang masih kita datangkan,” ucapnya.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang juga Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Tjandra Yoga Aditama berpendapat, pemerintah perlu memperjelas status dari seluruh kasus yang dilaporkan sesuai dengan klasifikasi yang ditentukan oleh WHO. Setidaknya itu terkait dengan hasil pemeriksaan dari virus hepatitis A, B, C, D, dan E.
Selain itu, informasi lain yang terkait dengan pemeriksaan dari kasus suspek, yakni terkait pemeriksaan SARS-CoV-2, adenovirus, dan virus lain yang dicurigai juga sebaiknya disampaikan. Penyelidikan epidemiologi juga harus diperkuat dengan penemuan 15 kasus suspek hepatitis akut misterius. Hal ini diperlukan untuk mengidentifikasi pola penularan.
”Tentang kemungkinan penyakit menjadi pandemi butuh proses untuk menentukan apakah penyakit ini masuk dalam PHEIC (public health emergency of international concern). Setelah itu, perlu dilihat lagi perkembangannya. Jika terus meluas, baru bisa disebut pandemi,” kata Tjandra.