Tingkat konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan di Indonesia dalam 20 tahun terakhir mengalami peningkatan signifikan. Demikian pula risiko obesitas dan berbagai penyakit tidak menular.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
Hari raya Idul Fitri identik dengan aneka penganan yang tersaji. Makanan dan minuman yang sepanjang tahun tidak terlihat tiba-tiba muncul. Ditambah sebulan menahan lapar dan dahaga, sebagian orang mungkin akan menjadi kalap.
Apalagi, bagi mereka yang bertandang ke rumah keluarga atau teman, pasti sulit mengelak untuk mencicipi aneka kue lebaran. Tentu saja, sebagian besar berasa manis. Nastar, putri salju, semprit, lidah kucing, dodol, wajik, hingga cokelat atau permen hanya beberapa contoh kue yang selalu ada pada saat Lebaran.
Padahal, menurut perhitungan farsecret.do.id, aplikasi penghitung kalori, satu butir nastar mengandung 75 kalori dengan rincian 26 persen lemak, 68 persen karbohidrat, dan 6 persen protein. Jumlah kalori ini lebih dari sepertiga semangkuk nasi putih. Bahkan, untuk kandungan lemak, satu butir nastar bisa empat kali lebih banyak dibandingkan dengan semangkuk nasi.
Sebagian dari kita mungkin akan mengabaikan hitung-hitungan kalori ini, toh, kue-kue ini muncul setahun sekali. Ya, bahaya sebenarnya memang terutama dari minuman berpemanis, yang menjadi keseharian, tidak hanya pada saat Lebaran. Lebih bahaya terutama minuman berpemanis dalam kemasan, yang pada umumnya tak pernah kita hitung jumlah kandungan gulanya.
Minuman berpemanis merupakan godaan besar bagi banyak orang sehingga hanya sekadar edukasi mengenai risikonya tidak akan mudah diterima.
Satu kaleng minuman bersoda bisa mengandung 145 kalori, sekitar dua pertiga semangkuk nasi. Sebagian besar kalori ini dari gula, yang porsinya dalam sekaleng minuman soda berukuran 375 mililiter bisa mencapai 32 gram atau delapan sendok teh gula.
Ini berarti, sekaleng minuman soda sudah melebihi ambang konsumsi gula sebesar 25 gram atau enam sendok teh seperti disarankan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Konsumsi gula pada orang dewasa seharusnya tidak melebihi 10 persen dari total kalori yang dikonsumsi per hari.
Aneka ragam minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) telah membanjiri pasaran dan konsumen. Yang menjadi sasaran produk itu pun tak hanya dewasa, tetapi terutama yang paling mengkhawatirkan adalah anak-anak.
Mengacu pada definisi WHO, MBDK meliputi minuman kemasan bersoda, minuman berenergi, sari buah kemasan, minuman isotonik, susu berperisa, teh dan kopi kemasan, sirup, hingga minuman serbuk yang perlu diseduh. Adapun pemanisnya bisa berupa gula ataupun bahan pemanis lain.
Konsumen tertinggi
Analisis Ardiansyah BG (2017) yang dikutip dalam laporan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) tentang urgensi penerapan cukai MBDK di Indonesia menunjukkan, tingkat konsumsi MBDK di Indonesia dalam 20 tahun terakhir mengalami peningkatan yang signifikan. Dari sekitar 51 juta liter (1996) menjadi 780 juta liter (2014) atau meningkat 15 kali lipat. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi konsumen MBDK tertinggi ketiga di Asia Tenggara pada 2020.
Mengutip beberapa laporan ilmiah, seperti Rocha LL (jurnal PLoS One, 2021), CISDI menyebutkan, konsumsi MBDK yang tinggi merupakan salah satu determinan terjadinya obesitas. Hal itu tecermin dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang menunjukkan, persentase penduduk dengan obesitas di Indonesia telah meningkat dua kali lipat, dari 10,3 persen pada 2007 menjadi 21,8 persen pada 2018.
Padahal, obesitas merupakan faktor risiko berbagai penyakit tidak menular kronis, seperti jantung, diabetes tipe 2, hipertensi, kerusakan hati, ginjal, dan beberapa jenis kanker, termasuk juga penyakit menular Covid-19. Data juga menunjukkan, stroke, penyakit jantung sistemik, dan diabetes telah menjadi penyebab kematian terbesar di Indonesia pada 2019.
Sementara diabetes, yang memiliki kaitan sangat erat dengan konsumsi MBDK berlebihan, prevalensinya di Indonesia merupakan yang tertinggi keempat di dunia setelah India, China, dan Amerika Serikat. Laporan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan juga menunjukkan, biaya pelayanan untuk diabetes meningkat rata-rata 8 persen setiap tahun. Pada 2019, biaya layanan primer dan perawatan diabetes yang harus dibayar BPJS mencapai Rp 108 triliun.
Cukai
Berdasarkan data ini, CISDI telah mengusulkan adanya pembatasan ketersediaan MBDK sebagai salah satu upaya untuk menurunkan obesitas dan akhirnya risiko penyakit tak menular. Salah satu upaya yang bisa ditempuh adalah dengan pengenaan cukai pada minuman berpemanis, sebagaimana pernah diwacanakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 2020, tetapi sampai sekarang belum terwujud.
Sebanyak 49 negara telah menerapkan cukai terhadap MBDK, termasuk di beberapa negara berkembang, dan berhasil menurunkan konsumsi. Meksiko, misalnya, dengan menerapkan cukai 10 persen, berhasil menurunkan konsumsi MBDK sebesar 19 persen.
Turunkan kandungan gula
Di sisi lain, pengenaan cukai MBDK diharapkan juga bisa memaksa kalangan industri menurunkan kandungan gula dalam produknya. Selain berbagai manfaat ini, menurut perhitungan Kementerian Keuangan, cukai minuman berpemanis dalam kemasan juga berpeluang meningkatkan pemasukan negara Rp 2,7 triliun hingga Rp 6,25 triliun per tahun. Pemasukan ini dengan asumsi, setiap MBDK akan dikenai pajak mulai dari Rp 1.500 hingga Rp 2.500 per liter, sesuai kandungan gulanya.
Resistansi terutama datang dari produsen MBDK, yang khawatir akan mengalami penurunan produksi. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa cukai ini akan mengerek kenaikan harga barang-barang konsumsi lain. Sebagian pihak yang pesimistis juga beranggapan, pemberlakuan cukai belum tentu efektif, tetapi yang dibutuhkan adalah edukasi kepada publik.
Bagaimanapun, minuman berpemanis merupakan godaan besar bagi banyak orang sehingga hanya sekadar edukasi mengenai risikonya tidak akan mudah diterima. Apalagi jika selera terhadap minuman berpemanis ini dibentuk sejak kanak-kanak dengan harga relatif murah.
Jika pun masih sulit memahami risiko jangka panjang terhadap kesehatan, dengan harga minuman berpemanis dalam kemasan yang tak lagi murah, orang akan berpikir dua kali untuk membelinya. Ataupun kalau dibeli dan dikonsumsi, hanya pada saat-saat tertentu, seperti kue-kue lebaran itu.