Laporan SAFEnet menyebut ada 13 kasus ”doxing” yang dialami sejumlah jurnalis dalam kurun waktu 2017-2020. Jika terus dibiarkan, serangan ”doxing” dapat mendelegitimasi atau membuat jurnalis tidak dipercaya publik.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·3 menit baca
ANTARA/NYOMAN BUDHIANA
Sejumlah wartawan meletakkan kartu pers dan peralatan liputan sebagai bentuk protes terhadap aksi kekerasan terhadap jurnalis saat unjuk rasa di depan Monumen Bajra Sandhi, Denpasar, Selasa (7/7/2015).
JAKARTA, KOMPAS — Pembongkaran dan penyebaran data pribadi atau doxing masih terus terjadi dengan sasaran jurnalis. Bahkan, doxing cenderung menjadi tren serangan siber saat ini. Apabila serangan doxing terus dibiarkan, hal ini akan mendelegitimasi atau membuat jurnalis tersebut tidak dipercaya oleh publik.
Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto mengemukakan, doxing masuk ke dalam kasus serangan siber karena menggunakan prasarana teknologi digital yang ditujukan kepada target. Cara pelaku melakukan serangan siber bisa berbeda-beda. Akan tetapi, hal yang selalu dapat dipastikan ialah niat jahat pelaku dan dampak dari serangan tersebut.
”Puncak-puncak serangan sering kali terjadi bersamaan dengan momentum politik. Jadi, situasi dan motif politik ikut mendukung banyaknya serangan siber yang terjadi. Kami memiliki catatan, misalnya, saat mahasiswa beberapa tahun terakhir melakukan aksi, mereka mengaku mendapat serangan digital,” ujarnya dalam diskusi daring terkait dampak doxing terhadap jurnalis dan solusinya, di Jakarta, Selasa (26/4/2022).
Berdasarkan laporan SAFEnet, serangan siber pada publik yang terjadi sepanjang 2021 mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Pada 2020, tercatat serangan siber yang terjadi sebanyak 147 kasus dan meningkat menjadi 202 kasus pada 2021.
Sebelumnya, SAFEnet juga merilis laporan yang menyebutkan terdapat 13 kasus doxing yang dialami sejumlah jurnalis dalam kurun waktu 2017-2020. Sementara 10 kasus lainnya yang tercatat dalam data monitoring SAFEnet juga menimpa aktivis dan warga.
Dilihat dari tipologinya, kata Damar, doxing tidak bisa dikategorikan sebagai serangan yang berkelas dibandingkan dengan peretasan (hacking) atau serangan pengganggu layanan host (DDOS). Sebaliknya, doxing merupakan serangan yang lebih halus dan bersifat psikologis. Namun, dampak dari serangan doxing tetap tidak bisa disampingkan.
”Doxing menjadi berbahaya ketika digunakan atau diarahkan pada kelompok kritis, termasuk jurnalis. Selain pemidanaan, doxing masuk dalam 25 kategori serangan terbanyak yang sering dialami jurnalis. Serangan doxing ini juga bersifat delegitimasi atau sebuah upaya untuk membuat jurnalis tersebut tidak dipercaya oleh publik,” tuturnya.
Doxing menjadi berbahaya ketika digunakan atau diarahkan pada kelompok kritis, termasuk jurnalis. Selain pemidanaan, doxing masuk dalam 25 kategori serangan terbanyak yang sering dialami jurnalis.
Selain itu, kasus lain yang sering dialami jurnalis di Indonesia adalah doxing yang bersifat penargetan. Damar menduga bahwa penargetan ini bertujuan untuk mempersekusi jurnalis tersebut di dunia maya sehingga pelaku berharap hal itu terjadi juga di dunia nyata.
Apabila dilihat dari tipologi jumlah pelaku, doxing bisa dilakukan oleh individu dan kelompok atau kolektif kerja. Di sisi lain, dari latar belakangnya, tambah Damar, doxing bisa dilakukan oleh negara yang diwakili pejabat publik atau individu dan kelompok yang didukung negara dan nonnegara. Jika didukung negara, pelaku doxing bisa mendapat data dan informasi target dari aparat penegak hukum.
Sementara berdasarkan cara kerjanya, doxing dapat dilakukan dengan penguntitan dunia maya (cyberstalking) untuk mengumpulkan segala informasi (profiling) dari jurnalis yang menjadi target. Namun, doxing juga bisa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi yang cukup canggih seperti pemanfaatan orang dalam atau menanam malware pada gawai target untuk merusak dan mencuri informasi.
Tantangan pers
Anggota Dewan Pers, Asep Setiawan, mengatakan, mengacu pada peraturan perundang-undangan, terdapat empat fungsi pers di Indonesia, yakni menyebarkan informasi, mengedukasi, memberikan hiburan, dan kontrol sosial. Dalam menjalankan fungsi kontrol sosial inilah peran pers menghadapi sejumlah tantangan sejak masa Orde Baru.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Sejumlah pewarta dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, seniman, dan beberapa elemen masyarakat bersama-sama memperingati Hari Kebebasan Pers Internasional di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (3/5/2014). Dalam aksi itu, mereka juga membagikan pamflet berisi ajakan peningkatan profesionalisme jurnalis dan kebebasan pers serta tuntutan pengusutan berbagai kasus kekerasan yang menimpa jurnalis.
”Tantangan ini bisa berupa ancaman terhadap perusahaan pers atau pembredelan dan pelarangan siaran. Sementara untuk wartawan, ancaman ini berupa fisik seperti penganiayaan dan pembunuhan. Belakangan juga muncul ancaman non fisik berupa penyebaran data pribadi dan peretasan akun media sosial,” ujarnya.
Asep menyatakan, Dewan Pers memahami ancaman ini sehingga berupaya melakukan perlindungan terhadap jurnalis dengan beragam cara. Perlindungan ini dilakukan secara aktif, yakni mendorong penanganan kasus dan upaya pasif seperti pembuatan peraturan.
Ia menegaskan bahwa semua pihak harus fokus menangani ancaman nonfisik, termasuk doxing, yang saat ini marak menimpa jurnalis. Sebab, ke depan diyakini ancaman doxing akan terus meningkat seiring dengan kemajuan teknologi dan banyaknya cara baru dalam merusak kemerdekaan pers.