Sampai Maret 2022, sebanyak 1.091 wilayah adat yang tersebar di 29 provinsi telah dipetakan. Komitmen Presiden ditunggu untuk menyelesaikan konflik agraria dan mengakui wilayah serta hutan adat yang tersisa.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proses pengakuan dan pemetaan wilayah adat mengalami peningkatan hingga saat ini mencapai 17,6 juta hektar. Menjelang dua tahun terakhir masa pemerintahan, komitmen Presiden Joko Widodo terus dinanti dalam menyelesaikan konflik agraria dan mengakui wilayah serta hutan adat yang tersisa.
Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) merilis data terbaru status pengakuan wilayah adat di Indonesia. Sampai Maret 2022, telah dibuat 1.091 peta wilayah adat yang tersebar di 29 provinsi dan 141 kabupaten/kota dengan luas mencapai 17,6 juta hektar.
Dari total 1.091 peta adat, sebanyak 176 peta dengan luas 2,6 juta hektar telah mendapat status penetapan dari pemerintah daerah setempat. Kemudian 667 peta atau 12,7 hektar telah ada registrasi di BRWA, tetapi belum mendapat penetapan. Sementara 248 peta lainnya atau 2,15 juta hektar belum mendapat status pengakuan apa pun.
”Data ini nantinya kami serahkan kepada kementerian dan lembaga untuk menjadi referensi, rujukan, dan upaya bersama dalam percepatan pengakuan masyarakat adat dan wilayahnya,” kata Kepala BRWA Kasmita Widodo dalam lokakarya terkait perlindungan hak-hak masyarakat adat di ujung pemerintahan Joko Widodo, di Jakarta, Senin (25/4/2022).
Kasmita menjelaskan, proses pengakuan wilayah adat ini dilakukan dengan pembentukan kebijakan melalui peraturan daerah ataupun surat keputusan kepala daerah di tingkat provinsi atau kabupaten/kota. Namun, ia mengakui belum mendapat banyak informasi terkait pengakuan masyarakat adat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Menurut Kasmita, sampai kini BRWA belum melihat peta wilayah adat secara utuh dalam kebijakan satu peta, khususnya untuk wilayah yang belum mendapat pengakuan. Sebab, selama ini kebijakan satu peta hanya mengintegrasikan wilayah dan hutan adat yang sudah diakui atau mendapat ketetapan dari pemerintah daerah.
”Kami masih terus berharap komitmen Presiden yang disampaikan di berbagai pertemuan terkait penyelesaian konflik agraria dan pengakuan hutan adat. BRWA yang hadir dalam pertemuan terakhir telah mengusulkan 27 lokasi prioritas untuk pengakuan hutan adat. Namun, kami mencatat baru tiga hutan adat yang diakui,” tuturnya.
Kami masih terus berharap komitmen Presiden yang disampaikan di berbagai pertemuan terkait penyelesaian konflik agraria dan pengakuan hutan adat.
Kepala Pusat Pemetaan dan Integrasi Tematik Badan Informasi Geospasial (BIG)yang juga Ketua Satuan Tugas I Sekretariat Kebijakan Satu Peta Lien Rosalina mengatakan, peta peraturan daerah (perda) tanah ulayat sebenarnya telah tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta.
Dalam konteks pelaksanaan kebijakan satu peta, lanjut Lien, setiap peta tematik memiliki wali data di kementerian/lembaga sebelum diserahkan kepada Satuan Tugas I Sekretariat Kebijakan Satu Peta. Namun, saat ini peta perda tanah ulayat tersebut bersifat sektoral sehingga menjadi tantangan dalam proses integrasi.
”Hal ini membuat kita memiliki IGT (informasi geospasial tematik) hutan adat yang kewalidataannya di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tetapi hak komunalnya di Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Sampai aturan terbaru disusun, kami tidak mendapat pernyataan khususnya Kementerian Dalam Negeri terkait perda tanah ulayat ini dalam rangka pemenuhan kebijakan satu peta,” ujarnya.
Penyelesaian konflik
Tenaga Ahli UtamaKedeputian II Kantor Staf Presiden (KSP) Usep Setiawan menyatakan, tim kerja di KSP yang dibentuk untuk mempercepat penyelesaian konflik agraria dan pengakuan wilayah adat secara formal telah selesai dilakukan. Laporan tersebut juga telah dikirimkan ke Presiden dan kementerian/lembaga terkait lainnya.
”Secara umum, pada 2021 terdapat 18 lokasi yang telah dilakukan penyelesaian konflik termasuk penetapan 3 hutan adat dari 27 prioritas yang diusulkan. Jadi, masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Meski kerja tim yang dibentuk di KSP sudah selesai, bukan berarti percepatan penetapan hutan adat berhenti,” ungkapnya.
Terkait perkembangan dari Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat, Usep menyatakan, pemerintah masih terus membahas dan menyusun peraturan ini dengan DPR. Posisi terakhir RUU Masyarakat Adat masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2022.
Saat ini KSP juga menyiapkan pembentukan gugus tugas untuk menjaring pandangan dan masukan terkait RUU Masyarakat Adat dari para akademisi, tokoh gerakan masyarakat adat, dan praktisi. Gugus tugas ini penting sebagai bentuk konsolidasi sehingga komitmen penyelesaian konflik agraria dan pengakuan wilayah adat dapat direalisasikan dengan cepat.