Tema Hari Bumi 2022 ”Invest in Our Planet” bertujuan untuk mendorong semua pihak mempercepat transisi menuju ekonomi hijau. Meninggalkan penggunaan energi kotor dan berinvestasi di energi terbarukan harus diprioritaskan.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Truk pengangkut batubara melintasi jalan khusus angkutan tambang batubara di wilayah Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, November 2014.
Peringatan Hari Bumi 2022 setiap tanggal 22 April tahun ini mengambil tema ”Invest In Our Planet” atau ”Berinvestasi di Planet Kita”. Salah satu upaya yang perlu dilakukan ialah meninggalkan penggunaan energi kotor dari industri ekstraktif dan mendorong semua pihak untuk berinvestasi di energi terbarukan serta menerapkan efisiensi energi.
Mengutip dari situs earthday.org, tema Hari Bumi 2022 ”Berinvestasi di Planet Kita” bertujuan untuk mendorong lebih dari 1 miliar orang termasuk kalangan pemerintah, institusi, dan dunia usahaagar membantu mempercepat transisi menuju ekonomi hijau yang adil dan sejahtera. Kampanye ini juga bertujuan menyadarkan semua pihak terkait perubahan iklim yang disebabkan penggunaan bahan bakar fosil dari industri ekstraktif seperti batubara.
Earth Day menyebut perusahaan yang cerdas mengetahui pentingnya bertranformasike kegiatan ramah lingkungan karena dapat meningkatkan keuntungan jangka panjang. Demi alasan kemanusiaan dan bisnis, penting bagi perusahaan di semua skala untuk mengambil tindakan perubahan ini agar dapat menerima manfaat dari ekonomi hijau.
”Pemerintah harus berinvestasi, membangun infrastruktur untuk transisi ke energi baru terbarukan dan ekonomi hijau secara umum. Kemudian regulator harus memberikan kepastian di pasar bersama dengan pemberian subsidi dan insentif. Ini akan mengakhiri subsidi bahan bakar fosil,” ujar Presiden earthday.org Kathleen Rogers.
Pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim memegang peranan penting sebagai tulang punggung menuju ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan. (Suharso Monoarfa)
Upaya menyelamatkan Bumi dari krisis iklim yang didorong dalam peringatan Hari Bumi 2022 ini juga sejalan dengan hasil laporan terbaru dari Kelompok Kerja III Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) yang dirilis awal April lalu. Laporan IPCC ini tidak hanya menekankan pentingnya upaya penurunan emisi, tetapi juga memberikan solusi dan upaya mitigasi perubahan iklim.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Terlihat Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tambaklorok di Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (7/2/2017). PLTU Tambaklorok ini menggunakan gas sebagai energi yang penyalurannya dengan pipa sepanjang 140 kilometer dari Blok Gundih, Cepu.
Solusi utama menurunkan emisi menurut laporan IPCC ini ialah dengan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, seperti batubara, secara drastis hingga 95 persen. Di sisi lain, perlu juga meningkatkan penggunaan bahan bakar alternatif, seperti hidrogen, dan menjalankan transisi ke energi baru terbarukan.
IPCC mencatat, sejak 2010 ada upaya penggunaan energi dari matahari, angin, dan baterai secara berkelanjutan hingga 85 persen. Pemerintah di seluruh dunia juga telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan undang-undang yang meningkatkan efisiensi energi, mengurangi laju deforestasi, serta mempercepat penggunaan energi baru terbarukan.
Beberapa bulan sebelum laporan IPCC ini terbit, hasil studi lembaga Third Generation Environmentalism (E3G) menunjukkan bahwa ketergantungan dunia terhadap energi batubara mulai menurun. Menurut laporan E3G, sebanyak 44 negara telah berkomitmen untuk tidak membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara baru sejak 2015.
Secara global, kapasitas proyek PLTU batubara yang dibatalkan mencapai 1.175 gigawatt. Hingga Juli 2021 setidaknya terdapat enam negara, yakni China, India, Vietnam, Indonesia, Turki, dan Bangladesh, yang masih berencana membangun pembangunan PLTU batubara.
Khusus di Asia Tenggara telah terjadi penurunan rencana pembangunan PLTU batubara sebesar 63 persen sejak tahun 2015. Malaysia tercatat tidak lagi memiliki proyek yang sedang dikembangkan, sedangkan Filipina dan Vietnam mulai beralih dari energi batubara. Adapun Kamboja, Indonesia, Laos, dan Thailand dapat mengikuti jejak negara-negara tersebut dan berkomitmen untuk tidak melakukan pembangunan PLTU batubara baru.
KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS)
Truk membawa cangkang sawit yang digunakan untuk campuran bahan bakar batubara di PLTU Sintang, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Selasa (12/10/2021).
Dalam laporan itu, penulis memperkirakan pembatalan proyek PLTU batubara di sejumlah negara terjadi akibat adanya kebijakan pemerintah yang baru dan banyaknya penolakan dari masyarakat sipil. Hingga Juni 2021 tercatat negara-negara di dunia telah menghindari ekspansi sebesar 56 persen dari total armada batubara global.
Komitmen Indonesia
Komitmen Indonesia untuk melakukan transisi energi dalam upaya mengurangi emisi karbon ditegaskan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif saat membuka forum Civil Society 20 (C20) awal Maret lalu. Arifin menyebut bahwa pemerintah telah menyiapkan optimalisasi potensi energi terbarukan yang mencapai 3.686 Gigawatt (GW).
”Strategi utama untuk mencapai target netralitas karbon di 2060, antara lain, melalui pengembangan energi terbarukan skala besar. Indonesia akan fokus pada pembangkit listrik tenaga air, panas bumi, dan hidrogen,” tuturnya.
Saat ini, proyek pembangunan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan terus dilakukan dengan target kapasitas 20,92 GW. Mayoritas atau 74 persen proyek tersebut masih dalam tahap perencanaan, kemudian 15,7 persen dalam konstruksi, dan 1,8 persen sudah beroperasi. Pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan tersebar di wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara, serta Jawa, Madura, dan Bali.
Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa, dalam acara peringatan Hari Bumi 2022, menyatakan, Pemerintah Indonesia mendorong ekonomi hijau melalui pembangunan rendah karbon sebagai salah satu transformasi ekonomi Indonesia.
”Sebagai salah satu program prioritas nasional, pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim memegang peranan penting sebagai tulang punggung menuju ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan. Kita akan tetap mempertahankan langkah baik ini pada penyusunan dokumen perencanaan ke depan, salah satunya Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2025-2045,” katanya.