Kredit hingga 37,7 Miliar Dollar AS Dikucurkan untuk Perusahaan Tambang
Bank mengucurkan kredit hingga 37,7 miliar dollar AS kepada 24 perusahaan pertambangan di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Pembiayaan ini membuat bank perlu ikut bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank dan investor dunia mengucurkan kredit hingga puluhan miliar dollar AS kepada 24 perusahaan pertambangan di sejumlah negara, termasuk di Indonesia. Perusahaan ekstraktif ini menimbulkan sejumlah permasalahan, seperti kerusakan dan pencemaran lingkungan, perubahan bentang alam, pendorong deforestasi yang cukup signifikan di kawasan tropis, serta konflik sosial di masyarakat.
Hal tersebut terungkap dalam hasil temuan Forest and Finance yang merupakan inisiatif koalisi organisasi riset dan kampanye, seperti Perkumpulan Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Rainforest Action Network, dan Amazon Watch. Data terkait pembiayaan tambang di Indonesia juga telah dipublikasikan pada 12 April.
Direktur Eksekutif TuK Indonesia Edi Sutrisno mengemukakan, hasil analisis menemukan bahwa bank dan investor dunia mengucurkan kredit hingga 37,7 miliar dollar AS selama 2016-2021 kepada perusahaan pertambangan di Afrika Tengah dan Barat, Amerika Latin, serta Asia Tenggara. Lima pemodal teratas adalah Citigroup, BNP Paribas, SMBC Group, MUFG, dan Standard Chartered.
Data ini bisa menjadi sumber informasi bagi semua pihak, khususnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), untuk melihat bagaimana pembiayaan yang telah dikucurkan dan potensi ke depan.
Dari jumlah tersebut, kredit untuk perusahaan di Asia Tenggara tercatat yang terbesar dibandingkan wilayah lain mencapai 42 persen atau 16,1 miliar dollar AS. Sementara Afrika Tengah dan Barat serta Amerika Latin masing-masing menerima 10,8 miliar dollar AS.
”Tiga negara teratas sebagai kreditur yakni Amerika Serikat, Jepang, dan Kanada. Sementara tiga teratas negara asal investor adalah Amerika, Brasil, dan Inggris Raya,” ujarnya dalam konferensi pers secara daringterkait keterlibatan bank dalam pembiayaan tambang yang merusak lingkungan dan melanggar hak asasi manusia (HAM), Rabu (20/4/2022).
Dalam menyajikan data pembiayaan tambang tersebut, kata Edi, tim menggunakan basis data keuangan Bloomberg, Refinitiv TradeFinanceAnalytics, IJGlobal, laporan dan publikasi perusahaan lainnya, serta laporan media. Tim juga menganalisis untuk mengidentifikasi pinjaman perusahaan dan fasilitas emisi yang diberikan kepada perusahaan.
Berdasarkan data yang dihimpun, perusahaan tambang besar di Indonesia juga menerima investasi dari bank dan investor dunia ini. Namun, kata Edi, tidak menutup kemungkinan kredit diberikan kepada perusahan tambang di Indonesia dengan skala yang lebih kecil.
”Kita tahu bahwa perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia tidak hanya perusahaan besar, seperti data kami. Banyak juga perusahaan-perusahaan kecil yang saat ini memang kami belum tahu mereka terafiliasi dengan perusahaan mana saja,” ujarnya.
Edi menegaskan bahwa data pembiayaan ini akan terus diperbarui dan dikembangkan. Ia berharap data ini bisa menjadi sumber informasi bagi semua pihak, khususnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), untuk melihat bagaimana pembiayaan yang telah dikucurkan dan potensi ke depan. Sebab, Indonesia telah dihadapkan pada komitmen tujuan pembangunan berkelanjutan, termasuk mengimplementasikan instrumen Taksonomi Hijau.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memandang bahwa bank yang masih terlibat dalam pendanaan industri ekstraktif dan merusak lingkungan merupakan bank yang ketinggalan zaman. Padahal, riset terbaru menunjukkan bahwa setiap 1 persen kenaikan penyaluran pinjaman ke sektor yang lebih ramah lingkungan akan mendorong pertumbuhan produk domestik bruto per kapita negara 0,012 persen.
”Bank masih terjebak pada pembiayaan kredit ke sektor ekstraktif dan ini tercermin dari penyaluran pinjaman ke pertambangan yang tumbuh hingga 15,7 persen. Bank juga harus bertanggung jawab terhadap konflik agraria, perampasan ruang hidup, dan penggusuran secara paksa karena kegiatan pertambangan,” katanya.
Dampak pertambangan
Kepala Divisi Kampanye Walhi Nasional Hadi Jatmiko mengatakan, data umum yang diolah Walhi pada 2021 menunjukkan luas pertambangan di Indonesia telah mencapai 97 juta hektar. Pertambangan sektor mineral dan batubara menguasai lahan seluas 11 juta hektar dan sisanya, yakni 86 juta hektar, merupakan sektor minyak dan gas.
Walhi mencatat, dampak utama dari kegiatan pertambangan adalah menghasilkan emisi yang berkontribusi terhadap kriris iklim. Dari penghitungan yang dilakukan Walhi, operasi tambang pada tutupan lahan hutan diperkirakan menyumbang emisi terbesar dengan total lebih dari 536 juta ton setara karbon dioksida.
Selain dampak lingkungan, kegiatan pertambangan juga kerap mengkriminalisasi rakyat dan pejuang lingkungan. Kasus kriminalisasi yang terjadi selama 2021 dari catatan Walhi adalah 58 kasus. Kriminalisasi di sektor pertambangan tercatat yang paling tinggi, yakni 58 persen, kemudian masing-masing 34 persen di sektor kehutanan dan perkebunan.