Strategi komunikasi yang tepat sangat berpengaruh pada keberhasilan pelaksanaan imunisasi lengkap pada anak. Berbagai pihak pun perlu dilibatkan dalam advokasi dan sosialisasi ke masyarakat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kurangnya informasi serta persepsi yang salah terkait imunisasi menyebabkan orangtua ragu dan menolak membawa anaknya untuk diimunisasi. Oleh sebab itu, edukasi dan kampanye untuk meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya imunisasi harus terus-menerus dilakukan dengan melibatkan banyak pihak.
Immunization Officer Unicef Perwakilan Aceh Dita Ramadonna mengatakan, informasi yang tidak tepat menjadi tantangan pelaksanaan imunisasi pada anak. Informasi yang umumnya mengemuka terkait dengan isu halal-haram vaksin serta dampak kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI).
”Tantangan ini pula yang kami temukan di Provinsi Aceh pada 2018. Berbagai penolakan muncul baik dari orangtua maupun sekolah. Pelaksanaan imunisasi MR (campak-rubela) di daerah tersebut bahkan sempat ditunda,” ujarnya, di Jakarta, Rabu (20/4/2022).
Akibatnya, cakupan imunisasi MR di Provinsi Aceh sangat rendah. Berbagai pendekatan pun akhirnya dilakukan untuk meningkatkan cakupan tersebut, khususnya dengan menggencarkan kampanye dengan melibatkan tokoh agama, media, dan kaum muda.
Menurut dia, isu krusial yang perlu disiapkan dalam kampanye imunisasi adalah strategi komunikasi yang baik. Selain itu, berbagai pihak terkait perlu dilibatkan, mulai dari pemerintah daerah, tokoh agama, anak muda, hingga media.
Pesan yang disampaikan pun sebaiknya lebih menekankan kasus penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) dan bukan hanya berbicara target cakupan imunisasi. Dalam penyampaiannya, perlu menggunakan bahasa yang mudah diterima oleh masyarakat.
”Advokasi dan sosialisasi ini harus terus-menerus dilakukan serta disampaikan secara berulang, sekalipun terkadang harus disampaikan mulai dari awal lagi. Ini penting agar masyarakat bisa benar-benar paham,” kata Dita.
Health Specialist Unicef Indonesia Kenny Peetosutan mengatakan, kampanye imunisasi yang dilakukan tersebut akhirnya dapat meningkatkan cakupan imunisasi secara keseluruhan di kawasan Sumatera. Cakupan imunisasi MR pada 2018 di kawasan tersebut tercatat 61 persen. Sekalipun angka ini belum mencapai target 95 persen, capaian ini tetap patut diapresiasi karena berbagai tantangan yang harus dihadapi.
Advokasi dan sosialisasi ini harus terus-menerus dilakukan serta disampaikan secara berulang, sekalipun terkadang harus disampaikan mulai dari awal lagi. Ini penting agar masyarakat bisa benar-benar paham.
Perwakilan dari Yayasan Orang Tua Peduli, Putri Suhendro, menambahkan, permasalahan yang banyak dihadapi dalam pelaksanaan imunisasi anak adalah terkait literasi masyarakat yang masih rendah. Selain itu, misinformasi dan disinformasi marak beredar di masyarakat, terutama di media sosial. Distribusi vaksin pun masih belum merata sehingga menyebabkan akses imunisasi di sejumlah daerah terkendala.
Ia menuturkan, masalah lain dalam pelaksanaan imunisasi anak, antara lain, orangtua yang lupa akan jadwal imunisasi anak, pencatatan imunisasi yang tidak teratur, serta adanya biaya imunisasi di layanan swasta. ”Dalam hal ini, orangtua punya peranan penting untuk meningkatkan cakupan imunisasi,” ucapnya.
Menurut Putri, orangtua perlu aktif mencari tahu informasi yang benar mengenai imunisasi. Diharapkan, orangtua pun bisa memahami konsep dasar imunisasi dan yakin bahwa imunisasi memiliki manfaat yang jauh lebih besar daripada efek sampingnya.
Selain itu, orangtua juga bisa berinisiatif untuk meminta agar anaknya bisa mendapatkan imunisasi simultan atau imunisasi ganda. Ini diperlukan untuk mengejar keterlambatan jadwal imunisasi.
Strategi komunikasi
Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan Imran Agus Nurali menuturkan, pemerintah telah menyiapkan strategi komunikasi nasional imunisasi yang akan dilaksanakan pada 2022-2025. Strategi ini dilakukan untuk mendukung pencapaian target imunisasi lengkap nasional sebesar 90 persen pada anak usia 12-23 bulan dan 80 persen untuk anak usia 0-11 bulan pada 2024.
Adapun pendekatan komunikasi yang akan dilakukan meliputi mobilisasi sosial dan pelibatan masyarakat, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, kampanye media massa dan media sosial, memperkuat advokasi, serta memperkuat sektor humas. Advokasi dilakukan untuk mengedukasi dan memotivasi pihak-pihak berpengaruh dalam pelaksanaan imunisasi. Sedangkan humas akan lebih banyak bertugas untuk mengatasi disinformasi dan misinformasi imunisasi.
”Kita harus terus menginformasikan bahwa imunisasi aman dan melindungi anak dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Media pun sangat berperan untuk bisa mendukung implementasi strategi komunikasi nasional imunisasi,” ujar Imran.