Potensi Karbon Biru Ekosistem Pesisir Akan Dipertajam
Ekosistem pesisir yang meliputi mangrove, rawa payau, dan tanah rawa jadi faktor penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Karena itu, potensi ekosistem ini dalam penurunan emisi perlu diidentifikasi lebih lanjut.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·3 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Warga membawa pelampung yang akan dipasang pada batas zona inti di kawasan pesisir Kampung Bukide Timur, Kecamatan Nusa Tabukan, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, Rabu (6/9/2017). Pemasangan pelampung batas tersebut merupakan salah satu program pemberdayaan masyarakat dalam pembentukan kawasan konservasi pesisir di Kepulauan Sangihe.
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan meningkatkan kolaborasi untuk mengidentifikasi potensi karbon biru dari ekosistem pesisir. Selama ini, potensi karbon biru dari ekosistem pesisir masih banyak yang perlu dieksplorasi dan diperhitungkan secara ilmiah.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengemukakan, dokumen kontribusi nasional (NDC) penurunan emisi telah dikaitkan dengan sektor kehutanan karena memiliki potensi penyerapan karbon di udara. Akan tetapi, penyerapan karbon lainnya khususnya dari ekosistem pesisir juga perlu dilihat potensinya.
”Ekosistem pesisir yang meliputi mangrove, rawa payau, marshland (tanah rawa), dan ekosistem lainnya menjadi faktor penting yang diidentifikasi sebagai upaya mitigasi perubahan iklim,” ujarnya dalam lokakarya ”Blue Carbon dalam Pembangunan Blue Economy dan Pencapaian Target NDC” di Jakarta, Senin (18/4/2022).
Identifikasi potensi ekosistem pesisir yang lebih tajam sekaligus dikaitkan dalam NDC ini diharapkan sudah dihasilkan sebelum pertemuan COP27 pada November mendatang.
Siti menegaskan, saat ini Indonesia sudah memiliki satu peta mangrove dengan proyeksi karbon biru hingga mencapai lebih dari 3,3 miliar ton. Di sisi lain, pengurangan emisi tahunan karbon biru sebanyak 10-31 persen memberikan kesempatan yang sangat baik untuk Indonesia dalam melakukan akselerasi dalam upaya mitigasi perubahan iklim sekaligus meningkatkan komitmen dalam NDC.
Menurut Siti, upaya mengidentifikasi mangrove sudah tertuang dalam dokumen kehutanan dan tata guna lahan (FoLU) Net Sink 2030 yang digunakan untuk operasionalisasi. Selain itu, Indonesia juga sudah mengidentifikasi ekonomi biru dari ekosistem pesisir yang dikaitkan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG).
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Kawasan mangrove yang menjadi pelindung bagi kawasan pesisir pantai di Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Kamis (3/1/2019). Ancaman pesisir utara jawa tersebut disebabkan abrasi, kerusakan kawasan mangrove, penurunan permukaan tanah, dan perubahan iklim.
Meski demikian, Siti mengakui bahwa masih banyak yang harus dieksplorasi untuk karbon dari sumber daya pesisir. Identifikasi potensi ekosistem pesisir yang lebih tajam sekaligus dikaitkan dalam NDC ini diharapkan sudah dihasilkan sebelum pertemuan Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim Ke-27 (COP 27) pada November mendatang.
”Kita akan mengidentifikasi secara tajam mulai sekarang hingga Juni. Sekitar Juli diharapkan kita semua sudah mengetahui seperti apa ekosistem wilayah pesisir dalam kontribusi untuk mitigasi penurunan emisi gas rumah kaca,” ungkapnya.
Sepanjang 2010-2019, kata Siti, Indonesia telah menanam mangrove seluas lebih dari 45.000 hektar. Sementara pada 2020, penanaman mangrove kembali dilakukan seluas 39.970 hektar oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), serta pihak-pihak terkait lain.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono tidak menampik bahwa beberapa kawasan pesisir termasuk di Jakarta sudah habis akibat kepentingan ekonomi seperti reklamasi. Oleh karena itu, perlu suatu kebijakan yang komprehensif dari inisiatif KLHK dan KKP untuk menjaga kawasan pesisir di semua daerah tak terkecuali pulau-pulau kecil.
Melalui kerja sama dengan berbagai pihak, KKP terus mendorong terwujudnya ekonomi biru di Indonesia. Ekonomi biru merupakan komitmen untuk memulihkan kesehatan laut sekaligus mempercepat ekonomi laut yang berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, memperkuat ekonomi, dan kedaulatan nasional.
Ekonomi biru dapat terwujud dengan sejumlah strategi, salah satunya konservasi perairan. Strategi ini dilakukan dengan memperluas cakupan dan efektivitas kawasan konservasi perairan dengan penetapan zona restriktif dan pemberdayaan masyarakat.
Selain itu, strategi lainnya yang juga dapat diterapkan ialah melakukan penangkapan ikan terukur berbasis kuota, menjalankan budidaya perikanan berkelanjutan, serta pengelolaan ruang laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil.
”Selain mangrove, potensi karbon biru juga bisa didapat dari budidaya rumput laut. Namun, perlu ada kajian keilmuan yang mendalam terkait potensi ini. Akan tetapi, kalau memang potensi ini benar, kita bisa membuat satu zonasi khusus,” kata Sakti.