Perubahan Pola Hujan di Jakarta dalam Seabad dan Implikasinya
Pola hujan di Jakarta telah berubah, sebagai respons peningkatan suhu hingga 1,6 derajat celsius dalam satu abad terakhir. Jakarta harus beradaptasi dengan perubahan ini untuk mengurangi risiko bencana.
Catatan meteorologi telah merekam adanya peningkatan suhu hingga 1,6 derajat celsius di Jakarta dalam satu abad terakhir, lebih tinggi dari rata-rata global. Perubahan suhu dan juga kelembaban udara ini telah mengubah frekuensi, intensitas, dan durasi hujan yang berpotensi meningkatkan risiko bencana.
Hujan dengan intensitas 377 milimeter (mm) per hari yang tercatat di Bandara Halim Perdanakusuma pada pergantian tahun baru 2020 merupakan yang tertinggi sejak dilakukan pengukuran pada 1866. Sebaran hujan ekstrem, dengan intensitas di atas 200 mm per hari, juga tercatat di beberapa wilayah Jakarta saat itu, dan menyebabkan banjir melanda.
Sebelumnya, rekor curah hujan tertinggi di Jakarta terekam di Sunter pada Februari 2015, yakni mencapai 367 mm per hari. Dua rekor curah hujan tertinggi di Jakarta, yaitu pada 2015 dan 2019/2020 dalam 154 tahun pencatatan ini, menandai perubahan pola hujan menjadi lebih ekstrem.
Kajian terbaru Siswanto, peneliti iklim dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), berdasarkan tren jangka panjang di Jakarta merekam perubahan itu. Penelitian untuk studi doktoralnya di Institute for Environmental Studies, Vrije, Universiteit Amsterdam, ini diterbitkan di jurnal Meteorological Society of Japan pada Februari 2022.
”Penelitian saya ini mengonfirmasi bahwa di (daerah) tropis, efek pemanasan global, dan pemanasan lokal bisa lebih ekstrem dari yang selama ini dipahami di tempat lain,” kata Siswanto.
Sesuai hubungan Clausius-Clapeyron, kenaikan suhu permukaan akan meningkatkan kapasitas atmosfer menahan air. Relasi yang awalnya dikenalkan oleh Kevin E Trenberth, ilmuwan iklim dari National Center for Atmospheric Research, Amerika Serikat, ini menunjukkan adanya pengaruh langsung pemanasan global terhadap perubahan curah hujan dan hujan lebat.
Di satu sisi, peningkatan pemanasan menyebabkan penguapan yang lebih besar dan dengan demikian terjadi pengeringan permukaan. Hal ini meningkatkan intensitas dan durasi kekeringan. Namun, pada saat yang sama, menurut Trenberth (Encyclopedia of Hydrological Sciences, 2008), kapasitas udara menahan air meningkat sekitar 7 persen per 1 derajat celsius pemanasan.
Masyarakat di Jakarta perlu lebih waspada jika hujan lebat terjadi pada sore dan kemudian berlanjut pada malam hingga dini hari. (Siswanto)
Hal ini pada akhirnya menyebabkan peningkatan uap air di atmosfer serta bisa memberi pengaruh terbesar pada meningkatnya curah hujan. Namun, besaran relasi pemanasan dan kemampuan udara menahan air ini umumnya didasarkan dari data di daerah subtropis.
”Ternyata, di Jakarta, kenaikan suhu permukaan 1 derajat celsius meningkatkan kemampuan udara menahan air hingga 14 persen, dua kali lipat dari yang selama ini dipahami secara global. Artinya, semakin banyak kandungan uap air di atmosfer, potensi hujan ekstrem meningkat,” kata Siswanto.
Kemampuan udara menahan air yang lebih tinggi dari 7 persen dibandingkan relasi Clausius-Clapeyron ini sebelumnya juga dilaporkan di Hong Kong dan Australia bagian utara yang lebih hangat. Ini menunjukkan bahwa daerah yang lebih panas, terutama zona tropis, bisa berisiko lebih besar mengalami dampak perubahan cuaca akibat pemanasan global.
Baca juga : Cuaca Dunia Semakin Ekstrem
Hal ini sejalan dengan temuan Alexander Robinson dari Complutense University of Madrid dan tim di jurnal Nature (2021) yang menunjukkan bahwa pergeseran suhu global telah menyebabkan munculnya panas ekstrem yang hampir tidak mungkin terjadi tanpa pemanasan global antropogenik. Selain itu, rekor curah hujan ekstrem juga terus meningkat di seluruh dunia dan rata-rata, 1 dari 4 rekor curah hujan dalam dekade terakhir, dapat dikaitkan dengan perubahan iklim.
”Wilayah tropis, yang terdiri dari negara-negara rentan yang biasanya paling sedikit berkontribusi terhadap perubahan iklim antropogenik, terus mengalami peningkatan ekstrem yang paling kuat,” sebut Robinson.
Daerah lain di Indonesia, menurut Siswanto, kemungkinan juga mengalami perubahan pola hujan menjadi lebih ekstrem ini walaupun variasinya bisa berbeda-beda tergantung dinamika lokal. ”Tantangannya, data yang tersedia lengkap sejauh ini baru di Jakarta yang terdokumentasikan curah hujan per jam sejak zaman Belanda,” kata Siswanto.
Hujan ekstrem
Di seluruh Indonesia, tren peningkatan frekuensi dan intensitas curah hujan ekstrem telah ditemukan dalam beberapa dekade terakhir seiring dengan peningkatan suhu. Hal ini, misalnya, dilaporkan peneliti iklim BMKG Supari di International Journal of Climatology (2017).
Situasi di Jakarta juga sudah dilaporkan Siswanto di International Journal of Climatology (2016). Suhu Jakarta dilaporkan telah meningkat hingga 1,6 derajat celsius, melebihi suhu rata-rata global 1,1 derajat celsius, sebagai respons terhadap pemanasan global dan urbanisasi yang cepat. Sebagai konsekuensinya, frekuensi dan intensitas hujan juga berubah.
Dalam kajian terbarunya, Siswanto menganalisis curah hujan per jam di Jakarta antara tahun 1900 dan 2010. Hasilnya menunjukkan ada peningkatan dua kali lipat jumlah kejadian hujan dengan durasi pendek (1-3 jam) di musim hujan.
Peningkatan frekuensi yang signifikan, sekitar 25 persen, dalam kejadian curah hujan durasi pendek ini, termasuk yang ekstrem atau di atas 10 mm per jam, terutama terjadi pada 2001–2010, dibandingkan dengan awal abad ke-20. Untuk intensitasnya, hujan-hujan durasi pendek ini meningkat 50 persen.
Namun, untuk hujan dengan durasi menengah (4-6 jam) dan panjang (6-8 jam) frekuensinya relatif sama, bahkan cenderung menurun. Jadi, ada kecenderungan hujan yang terjadi di Jakarta lebih pendek durasinya, tetapi lebih lebat. Misalnya, jika dulu intensitas hujan 300 mm diturunkan dalam beberapa hari, kini bisa dalam satu hari atau bilangan jam.
Menurut Siswanto, sekitar 60 persen dari peningkatan frekuensi dan intensitas hujan durasi pendek ini terjadi pada November-Maret. Sementara sekitar 20 persen terjadi pada musim Maret-September.
”Sebagian besar kejadian curah hujan ini terjadi pada sore hari (masing-masing 3 persen dan 1,5 persen dari jendela sepanjang waktu untuk musim hujan dan kemarau),” katanya.
Baca juga : Mewaspadai Perubahan Cuaca Ekstrem Wilayah Perkotaan
Sementara itu, perubahan yang paling terlihat selama periode dari awal abad ke-20 hingga saat ini adalah peningkatan tajam dalam kejadian curah hujan yang terjadi pada malam hari dan setelah jendela waktu tengah malam selama musim hujan dan penurunan tajam pada kejadian curah hujan pada sore hari selama musim kemarau. Peristiwa curah hujan malam hari, setelah tengah malam, dan pagi hari menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu.
Implikasi perubahan
Berdasarkan data-data ini, potensi hujan ekstrem, terutama di musim hujan, bakal terus meningkat di Jakarta. Rekor curah hujan 377 mm per hari pada awal 2020 bukan tidak mungkin bakal terjadi lagi, bahkan sangat mungkin terlampaui di masa depan.
Menurut Siswanto, implikasi dari meningkatnya frekuensi dan intensitas hujan ekstrem dalam periode singkat adalah potensi terjadinya banjir bandang atau naiknya genangan air dalam waktu cepat. Lebih berbahaya lagi, jika hal ini terjadi di malam hingga dini hari, yang peluangnya cenderung meningkat seiring waktu.
”Masyarakat di Jakarta perlu lebih waspada jika hujan lebat terjadi pada sore dan kemudian berlanjut pada malam hingga dini hari. Risiko akan besar jika banjir terjadi saat orang tidak siap karena tengah istirahat atau tidur,” katanya.
Sekalipun demikian, risiko bencana tidak hanya ditentukan oleh perubahan pola hujan, baik frekuensi, intensitas, maupun waktu turunnya. Hal ini juga sangat ditentukan oleh kapasitas tata kelola lingkungan, termasuk juga sistem peringatan dini.
Sebagaimana diingatkan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa António Guterres, dalam peringatan Hari Meterologi Dunia pada 23 Maret 2022 lalu, gangguan iklim yang disebabkan manusia sekarang merusak di setiap wilayah. ”Kita harus berinvestasi secara setara dalam adaptasi dan ketahanan. Itu termasuk informasi dini yang memungkinkan kita mengantisipasi badai, gelombang panas, banjir, dan kekeringan,” kata Guteres.
Laporan terbaru dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) juga telah merinci penderitaan yang sudah terjadi. Setiap peningkatan pemanasan global akan semakin meningkatkan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem.