Anak Balita Tidak Mendapat Imunisasi Lengkap Berisiko Tinggi Mengalami Tengkes
Imunisasi dapat mencegah anak mengalami tengkes atau ”stunting”. Prevalensi tengkes pada anak yang tidak diimunisasi dua kali lipat dibandingkan dengan yang diimunisasi lengkap.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Imunisasi merupakan salah satu upaya untuk mencegah stunting atau gagal tumbuh kembang akibat kurang gizi kronis pada anak. Anak yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap berisiko tinggi mengalami tengkes.
Pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada-RS Sardjito, Mei Neni Sitaresmi, menyampaikan, tengkes atau stunting merupakan penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi. Sejumlah riset menunjukkan, anak balita di Indonesia yang tidak diimunisasi memiliki risiko tengkes lebih tinggi dibandingkan dengan anak balita yang mendapatkan imunisasi lengkap.
”Dari riset yang dilakukan di Indonesia, prevalensi stunting pada anak yang tidak diimunisasi dua kali lipat dibandingkan dengan anak yang diimunisasi lengkap. Prevalensi stunting pada anak usia 12-59 bulan yang tidak diimunisasi mencapai 21,5 persen,” ujarnya dalam seminar media ”Kejar Imunisasi di Masa Pandemi” yang diadakan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) di Jakarta, Senin (18/4/2022).
Mei memaparkan, ada berbagai faktor yang menyebabkan anak yang tidak divaksin bisa mengalami tengkes. Sebagai contoh, anak yang tidak mendapatkan vaksin DPT yang merupakan vaksin kombinasi difteri, pertusis (batuk rejan), dan tetanus sangat rentan tertular batuk rejan.
Ketika tertular penyakit ini, anak tersebut bisa mengalami batuk hingga 100 hari. ”Tidak jarang anak yang mengalami batuk rejan sampai sesak napas yang kadang juga sampai diare. Hal ini bisa mengganggu proses menyusui juga asupan nutrisinya. Akibatnya, gizinya menjadi tidak cukup,” tuturnya.
Mei menambahkan, selain tengkes, imunisasi juga penting untuk mencegah kematian bayi dan balita. Radang paru-paru, diare, infeksi otak, dan campak dinilai menjadi penyebab utama kematian pada bayi dan balita. Padahal, kondisi tersebut bisa dicegah dengan imunisasi.
Prevalensi stunting pada anak yang tidak diimunisasi dua kali lipat dibandingkan dengan yang diimunisasi lengkap. Prevalensi stunting pada anak usia 12-59 bulan yang tidak diimunisasi mencapai 21,5 persen.
Radang paru-paru dapat dicegah dengan pemberian vaksin pentabio (vaksin DTP-HB-Hib), MR (campak rubela), dan PCV (pneumonia). Diare rotavirus juga dapat dicegah dengan pemberian vaksin rotavirus. Sementara itu, infeksi otak bisa dicegah dengan vaksin pentabio, PCV, MR, dan vaksin Japanese Encephalitis.
”Imunisasi harus segera dilengkapi. Imunisasi sangat penting untuk menjaga kesehatan dan mencegah stunting,” kata Mei.
Layanan imunisasi
Anggota Satuan Tugas Imunisasi IDAI, Soedjatmiko, menyampaikan, ancaman penyakit yang seharusnya bisa dicegah dengan imunisasi semakin meningkat selama pandemi Covid-19. Layanan imunisasi yang terganggu serta cakupan imunisasi lengkap yang menurun menjadi penyebabnya.
Pada tahun 2021, setidaknya ada 132 kasus campak yang terkonfirmasi laboratorium ditemukan di 71 kabupaten/kota di 25 provinsi. Sebanyak 267 kasus rubela ditemukan di 84 kabupaten/kota di 25 provinsi.
Sementara pada tahun 2022, kasus campak yang terkonfirmasi laboratorium mencapai 115 kasus yang tersebar di 35 kabupaten/kota di 14 provinsi. Sebanyak 81 kasus rubela juga terkonfirmasi di 37 kabupaten/kota di 14 provinsi.
”Kita perlu terus melaksanakan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya imunisasi. Imunisasi bertujuan untuk melindungi anak agar tidak sakit berat, cacat, dan meninggal. Pada masyarakat yang masih ragu perlu juga diedukasi, misalnya yang ragu akan keamanannya, perlu disampaikan imunisasi aman karena sudah jutaan anak diimunisasi dan aman,” tutur Soedjatmiko.
Berdasarkan data rutin terbaru Kementerian Kesehatan, cakupan imunisasi dasar lengkap telah menurun secara signifikan sejak awal pandemi Covid-19. Pada 2020, cakupan imunisasi dasar lengkap sebesar 84,2 persen dan menurun menjadi 79,6 persen pada 2021.
Pelaksana Tugas Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan Prima Yosephine menjelaskan, penurunan cakupan imunisasi tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, seperti adanya gangguan pada rantai pasok, aturan pembatasan kegiatan, dan keterbatasan SDM. Hal tersebut kemudian berimbas pada terhentinya layanan vaksinasi di sejumlah wilayah.
Berbagai upaya pun akan dilakukan pemerintah untuk mengejar cakupan imunisasi lengkap rutin yang menurun. Pada Mei 2022, pemerintah akan menggencarkan imunisasi melalui pelaksanaan Bulan Imunisasi Anak Nasional.
”Ada dua kegiatan besar di dalamnya, yaitu pemberian imunisasi tambahan berupa satu dosis imunisasi campak dan rubela pada anak ke semua sasaran tanpa memandang status sebelumnya dan imunisasi kejar berupa pemberian satu atau lebih jenis vaksin pada anak yang belum lengkap menerima imunisasi,” ujarnya.