Menjaga Degup Jantung Keanekaragaman Laut Tropis Dunia
Masyarakat berperan penting memastikan kelestarian ekosistem pesisir dan laut di Raja Ampat, Papua Barat. Keseimbangan antara kepentingan ekologi dan ekonomi pun perlu diwujudkan agar program pelestarian bisa berlanjut.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
Raja Ampat barangkali tidak akan lagi dikenal sebagai jantung keanekaragaman laut tropis jika kebiasaan masyarakat dalam menangkap ikan belum berubah seperti saat ini. Ingat betul Rony Mayor (42) ketika ia masih kecil dan turut kakeknya melaut, penggunaan peledak merupakan hal biasa yang dilakukan untuk menangkap ikan.
Kebiasaan itu bahkan masih ia lakukan sampai usianya dua puluhan. Kisah yang sama diceritakan oleh Oscar Mambrasa (29). Satu dekade yang lalu, meskipun jarang, peledak masih beberapa kali digunakan untuk menangkap ikan.
”Saat itu kami tidak tahu kalau menggunakan peledak itu bisa merusak karang. Padahal, karang itu tempat tinggal ikan. Kami baru sadar karena setelah beberapa lama semakin sedikit ikan yang bisa ditangkap,” kata Oscar, warga Kampung Mutus, Waigeo Barat, Raja Ampat, Papua Barat.
Kesadaran itu menguat ketika beberapa lembaga swadaya masyarakat melakukan pendekatan kepada masyarakat terkait dengan kegiatan konservasi. Pemerintah juga akhirnya mengeluarkan aturan larangan menggunakan peledak dalam kegiatan penangkapan ikan.
Oscar mengakui, menangkap ikan dengan peledak memang bisa langsung mendapatkan berton-ton ikan. Namun, tidak lama setelah itu, ikan menjadi sulit untuk didapatkan. Sempat ketika ikan tidak banyak ditemukan, sejumlah warga akhirnya beralih profesi dari nelayan menjadi petani.
Oscar Mambrasa (29), nelayan Kampung Mutus, Waigeo Barat, Raja Ampat, Papua Barat.
Untungnya kondisi itu tidak berlangsung lama setelah program konservasi dilakukan serta masyarakat yang sepakat untuk menjaga laut, ekosistem laut di sekitar Kampung Mutus mulai membaik. Kampung Mutus ditinggali oleh 51 kepala keluarga yang semuanya mencari nafkah sebagai nelayan.
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 9 menyebutkan, tiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan atau menggunakan alat penangkapan dan atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di area pengelolaan perikanan Indonesia. Jika melanggar, mereka diancam pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 2 miliar.
Koordinator Lapangan Yayasan Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI) Hasim Andi Taufig, yang juga Fasilitator Pengembangan Masyarakat/Bisnis Lingkungan PILI, menyebutkan, mengubah kebiasaan masyarakat bukan hal yang mudah. Masyarakat biasanya baru akan mengerti apabila kebiasaan baru yang dilakukan memiliki keuntungan.
”Padahal, kunci dari pemulihan ekosistem adalah masyarakat. Karena itu, sebelum melakukan pendekatan, perlu diketahui terlebih dulu potensi di daerah tersebut sehingga dapat menarik perhatian masyarakat,” katanya.
Dalam upaya pemulihan ekosistem alam, masyarakat pun harus terlibat sebagai subyek, tidak hanya obyek. Masyarakat harus dilibatkan sejak awal, mulai dari pemetaan masalah, perumusan program, hingga implementasi aksi pemulihan dan pelestarian.
Masyarakat pun perlu memiliki kesadaran bahwa mereka tinggal di wilayah yang begitu kaya akan keanekaragaman hayati laut dunia. Dengan begitu, merekalah yang bertanggung jawab untuk memastikan kekayaan itu bisa terjaga sampai di masa mendatang. Kebergantungan masyarakat juga sebenarnya amat tinggi pada lingkungannya.
Raja Ampat terletak di episentrum segitiga terumbu karang yang menjadi pusat keanekaragaman hayati laut. Diperkirakan, lautan di Raja Ampat memiliki 553 jenis karang dan rumah dari 70 persen jenis karang yang ada di dunia. Dari situ, diketahui ada 1.456 jenis ikan karang yang bisa ditemukan dengan 699 jenis moluska, 5 jenis penyu, dan 16 jenis mamalia laut. Tidak salah jika Raja Ampat disebut sebagai jantung keanekaragaman laut tropis dunia.
Padahal, kunci dari pemulihan ekosistem adalah masyarakat. Karena itu, sebelum melakukan pendekatan perlu diketahui terlebih dulu potensi di daerah tersebut sehingga dapat menarik perhatian masyarakat.
Dari kekayaan tersebut, Raja Ampat telah ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Perairan. Kekayaannya tidak hanya pada ikan, tetapi juga sumber daya alam lain, seperti terumbu karang, mangrove, dan rumput laut. Kawasan Konservasi Perairan, yakni area yang dilindungi dan dikelola untuk mewujudkan sumber daya dan lingkungan yang berkelanjutan.
Pemberdayaan masyarakat
Direktur Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) Tony Wagey menilai, prinsip konservasi yang berkelanjutan sebaiknya dapat menyeimbangkan antara kepentingan ekologi dan ekonomi. Program yang dijalankan perlu menyelaraskan antara upaya pelestarian lingkungan dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Hal itu pula yang lalu menjadi pedoman dalam program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang-inisiatif segitiga terumbu karang atau Coremap-CTI. Program yang dijalankan ICCTF bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional ini merupakan inisiatif pemerintah menjaga kelestarian sumber daya laut dan pesisir serta meningkatkan kesejahteraan warga pesisir. Pendanaannya berasal dari dana hibah Bank Dunia.
Di Kampung Mutus, misalnya, selain mendapatkan pemahaman untuk menangkap ikan yang ramah lingkungan, masyarakat diajak untuk meningkatkan potensi hasil tangkapnya. Itu meliputi, antara lain, budidaya ikan kerapu dengan keramba jaring apung dan pembuatan ikan asin atau oleh masyarakat setempat disebut ikan garam.
Bentuk pemberdayaan masyarakat lain juga dapat ditemui di Kampung Yensawai, Pulau Batanta, Raja Ampat. Ibu-ibu setempat diajak untuk bisa mengolah tanaman mangrove. Ketua Kelompok Mangrove Kampung Yensawai Rosita Linfaidan pun berinisiatif untuk memanfaatkan buah mangrove menjadi roti bolu. Ia juga yang menjadi ”champion” dalam pendorong gerakan konservasi warga setempat.
”Jadi, sembari mengajarkan ibu-ibu membuat bolu, saya menyampaikan cara untuk menjaga mangrove. Saya menyampaikan juga pentingnya mangrove untuk menjaga kampung kita ini dari abrasi juga gelombang tinggi dan tsunami,” katanya.
Bentuk pemberdayaan lain bisa pula dilakukan seperti yang berjalan di Kampung Meosmanggara, Kecamatan Waigeo Barat. Di Kampung ini, masyarakat diberdayakan untuk mengembangkan ekowisata berbasis spesies, yakni pari manta. Ada juga pasir timbul yang bisa dikunjungi di sekitar Kampung Meosmanggara.
”Program (Coremap-CTI) ini bisa menjadi praktik baik untuk menyelaraskan antara program pelestarian terumbu karang dan keanekaragaman hayati yang secara berkelanjutan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir dan wisata ramah lingkungan yang edukatif,” ujar Direktur Kelautan dan Perikanan Bappenas Sri Yanti JS, akhir Maret 2022, di Sorong, Papua Barat.