Tiga Gubernur di Jawa Disomasi atas Krisis Air Sungai dan Sampah
Gubernur Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat disomasi karena dianggap lalai dalam mengelola sampah dan membiarkan industri membuang limbah sembarangan. Kondisi ini menyebabkan sungai dalam kondisi buruk dan tercemar.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah perwakilan organisasi lingkungan menyampaikan somasi kepada Gubernur Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat sebagai tanggung jawab atas krisis air sungai dan sampah di Pulau Jawa. Mereka dianggap lalai dalam mengelola sampah dan membiarkan industri membuang limbah sembarangan sehingga menyebabkan sungai-sungai dalam kondisi buruk dan tercemar mikroplastik.
Direktur Eksekutif Yayasan Konservasi dan Lahan Basah (Ecoton) Prigi Arisandi menyampaikan, mayoritas sampah plastik dan limbah domestik yang ditemukan di sungai berasal dari kegiatan industri dan masyarakat. Oleh karena itu, perwakilan organisasi lingkungan perlu menggugat gubernur di Jawa karena dianggap lalai dan membiarkan sungai-sungai dalam kondisi buruk sehingga mengancam kesehatan masyarakat.
”Kami menggugat tiga gubernur ini dengan alasan bahwa mereka tidak mengelola sampah dengan baik. Mereka juga membiarkan industri membuang limbah tanpa diolah,” ujarnya dalam konferensi pers, di Jakarta, Selasa (12/4/2022).
Selain memberikan somasi kepada gubernur, organisasi lingkungan juga mendorong Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membuat baku mutu baru terkait dengan mikroplastik dalam air dan makanan laut. Sebab, banyak penelitian terbaru menunjukkan bahwa mikroplastik telah mencemari air, bahkan makhluk hidup.
Kami menggugat tiga gubernur ini dengan alasan bahwa mereka tidak mengelola sampah dengan baik. Mereka juga membiarkan industri membuang limbah tanpa diolah.
Ekspedisi Tiga Sungai yang dilakukan Ecoton dan tim, beberapa waktu lalu, menemukan kondisi sungai-sungai di Jawa mengalami tekanan dan tercemar, khususnya Sungai Brantas (Jawa Timur), Bengawan Solo (Jawa Tengah), dan Citarum (Jawa Barat). Kondisi ini akan mengancam masyarakat dalam mendapatkan kebutuhan air bersih, mengingat 60 persen populasi Indonesia berada di Pulau Jawa.
Pada setiap perjalanan, tim ekspedisi juga selalu menemukan sampah plastik di sungai-sungai yang dilewati, seperti sedotan, botol, kantong keresek, dan styrofoam. Bahkan, setelah pengujian dilakukan, air di sungai tersebut terdeteksi mengandung mikroplastik.
”Kami menemukan hampir 20 persen spesies ikan di Pulau Jawa mengandung mikroplastik. Kandungan mikroplastik paling tinggi berada di ikan nila. Jadi, disarankan masyarakat untuk beralih atau tidak mengonsumsi ikan nila karena adanya kandungan mikroplastik yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis ikan lainnya,” ucapnya.
Dalam waktu dekat, Ecoton akan kembali melakukan ekspedisi Sungai Nusantara yang bertujuan mengunjungi 68 sungai di semua wilayah di Indonesia. Ekspedisi ini juga akan mendeteksi kesehatan sungai dengan sejumlah parameter sekaligus mendokumentasikan kearifan lokal yang masih dilakukan masyarakat dalam menjaga sungai.
Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Suci Fitriah Tanjung menyatakan, hasil studi ataupun ekspedisi dari Ecoton mengonfirmasi kondisi 13 sungai di Jakarta. Data terakhir dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta menunjukkan, 120 titik atau lebih dari 90 persen sungai di Jakarta berada di fase pencemaran sedang hingga berat.
Menurut Suci, sungai di Jakarta telah terkontaminasi logam berat dan banyak ditemukan mikroplastik. Faktor penyebab pencemaran ini di antaranya 72,7 persen berasal dari limbah domestik dari permukiman, kemudian 17,3 persen dari perkantoran, dan 9,9 persen dari industri. Namun, angka pencemaran masih lebih tinggi karena limbah cair dari industri tidak terinventarisasi.
”Program-program di Jakarta tidak punya skema besar sehingga pelaksanaan sporadis di lapangan dan tingkat teknis tidak dilakukan dengan baik. Pada akhirnya, masyarakat perlu membangun pandangan kritis karena pemenuhan hak masyarakat untuk kualitas lingkungan hidup yang sehat harus dijamin oleh pemerintah,” tuturnya.
Keterlibatan produsen
Co-Coordinator Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) Rahyang Nusantara menambahkan, terdeteksinya mikroplastik di makanan laut hingga air mineral tidak terlepas dari sistem pengelolaan sampah di Indonesia yang masih mengumpulkan, mengangkut, dan membuang. Upaya mengubah paradigma pengelolaan sampah ini harus terus menjadi fokus meski saat ini sudah ada sejumlah daerah yang menerapkan sistem ekonomi sirkular.
Menurut Rahyang, pengelolaan sampah pada dasarnya fokus pada aspek pengurangan dan penanganan. Aturan yang dibuat sejumlah pemerintah daerah, yaitu pada aspek pengurangan untuk mencegah terjadi penimbunan sampah. Akan tetapi, pengurangan sampah seharusnya tidak hanya fokus untuk sampah plastik dari industri makanan dan minuman hingga ritel, tetapi juga manufaktur.
”Produsen yang menggunakan kemasan saset untuk produknya juga harus bertanggung jawab dalam pengelolaan sampah. Jangan lagi menyalahkan konsumen yang membuang sampah sembarangan atau pemerintah yang tidak menyelesaikan persoalan sampah dengan lebih baik,” katanya.