Serangan Belalang di Sumba Meningkat, La Nina Turut Berkontribusi
Serangan belalang kembara di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, pada 2022 menghebat. Fenomena iklim La Nina yang menyebabkan musim hujan di atas rata-rata turut memicu lonjakan serangan serangga ini.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Serangan belalang kembara di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, pada 2022 menghebat. Fenomena iklim La Nina yang menyebabkan musim hujan di atas rata-rata diduga turut memicu lonjakan serangan serangga yang menyerang tanaman.
”Serangan belalang kembara sering terjadi di Sumba, khususnya Sumba Timur. Namun, tahun ini serangannya lebih hebat,” kata Hermanu Triwidodo, ahli ekologi serangga yang juga Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University, Rabu (6/4/2022).
Menurut Hermanu, belalang kembara (Locusta migratoria manilensis Meyen) menaruh telur di dalam tanah dan menetas saat kelembaban tinggi, umumnya di musim hujan. ”Tahun ini, karena ada La Nina, musim hujan di Sumba menjadi lebih panjang. Akibatnya, waktu pembesaran populasi belalang menjadi lebih lama. Jika biasanya 4-5 generasi, sekarang sampai 8-9 generasi sehingga populasinya akan sangat besar,” katanya.
Johny Pati Ndamung, petani yang juga penggerak di Yayasan Mitra Persada Sejahtera di Sumba Timur, mengatakan, biasanya musim kemarau di Sumba sangat panjang. Namun, pada tahun 2021/2022, hujan sudah mulai terjadi sejak Oktober 2021 dan relatif stabil sampai Maret 2022. Ia menyebutkan baru pada awal April ini hujan cenderung berkurang.
Serangan belalang kembara ini kemungkinan akan semakin meluas karena saat ini belalang sedang berada pada fase migratory. (Hermanu Triwidodo)
Sebagai akibatnya, serangan belalang kembara tahun ini lebih dahsyat dari tahun-tahun sebelumnya. ”Banyak anggota kelompok tani yang sudah menyampaikan lahan pertaniannya diserang habis. Bahkan, belalang juga sudah masuk ke perkampungan,” katanya.
Menurut Johny, setelah menghabisi rerumputan di padang savana, yang menjadi sumber pakan ternak, belalang kembara saat ini mulai menyerang lahan pertanian. ”Kalau sudah habis daun tanamannya biasa akan akan makan apa saja. Dulu pernah terjadi ledakan (populasi serangga) juga, atap rumah warga dari alang-alang dan kain jemuran juga dimakan,” katanya.
Hermanu baru-baru ini telah melakukan survei lapangan di Sumba Timur dan mengkhawatirkan serangan belalang kembara tahun ini akan menghancurkan pertanian warga. Dari data yang dikumpulkannya, saat ini belalang kembara telah menyerang tidak kurang dari 2.772 hektar tanaman jagung dan 483 hektar padi.
”Serangan belalang kembara ini kemungkinan akan semakin meluas karena saat ini belalang sedang berada pada fase migratory,” katanya.
Hermanu mengatakan, ledakan populasi belalang kembara di Sumba ini rata-rata 10 tahunan, tetapi saat ini trennya semakin sering. Selain faktor cuaca, menurut dia, ledakan hama belalang ini juga dipicu dengan menyusutnya predator pemangsa, yaitu burung branjangan Sumba karena diburu warga.
Melihat situasi saat ini, Hermanu mengatakan, IPB University akan mengirimkan delegasi yang terdiri dari banyak pakar. ”Kami akan membantu melakukan mitigasi ledakan belalang kembara, menyusun rekomendasi pengelolaan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang bagi pengambilan kebijakan dari pemerintahan level desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan pusat,” katanya.
Selain itu, kata Hermanu, timnya akan mengaplikasikan teknologi yang sudah dikembangkan untuk mengatasi hama belalang ini. ”Selama ini masyarakat menggunakan pestisida dan ini sangat terbatas jangkauannya, selain ada dampak lingkungannya,” katanya.
Menurut Hermanu, tim dari Departemen Proteksi Tanaman IPB telah menemukan tiga agen hayati, berupa jamur dan bakteri yang menjadi patogen bagi belalang kembara ini. ”Pendekatan ini pernah dilakukan di Pulau Timor pada 2007. Waktu itu menggunakan agen hayati dari Australia dicampur minyak nabati. Hingga saat ini, serangan belalang kembara di Pulau Timor sudah berkurang,” katanya.
Faktor iklim
Peneliti iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Siswanto mengatakan, secara klimatologis Pulau Sumba merupakan daerah dengan pola hujan monsunal dengan puncak musim hujan terjadi pada Maret. Dari sisi curah hujan kumulatif, Sumba termasuk wilayah yang cukup kering atau semi arid.
Namun, menurut Siswanto, fenomena La Nina yang terjadi sejak pertengahan 2021 dan berlanjut di tahun 2022 berpengaruh pada peningkatan curah hujan di wilayah NTT, termasuk Sumba. Selain lebih panjang musim hujannya, intensitasnya juga meningkat.
Menurut dia, beberapa laporan kajian telah menemukan kaitan tren pemanasan global dengan meningkatnya aktivitas serangga. ”Cuaca yang lebih lembab membuat serangga lebih aktif dan lebih mudah melakukan reproduksi,” katanya.