Perokok Dua Kali Lebih Berisiko Terdiagnosis Tuberkulosis
Perokok aktif dan pasif memiliki risiko yang lebih besar terdiagnosis tuberkulosis dibandingkan dengan orang yang tidak terpapar asap rokok.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perokok memiliki risiko dua kali lebih besar terdiagnosis penyakit tuberkulosis dibandingkan dengan bukan perokok. Pada perokok pasif, risiko ini bahkan 4,5 kali lebih besar dibanding dengan orang yang tidak terpapar asap rokok.
Hal tersebut disampaikan Ketua Koalisi Organisasi Profesi untuk Tuberkulosis Indonesia (KOPI) Erlina Burhan dalam webinar bertajuk ”Investasi pada Pengendalian Tembakau untuk Mengakhiri Tuberkulosis” di Jakarta, Rabu (6/4/2022). Riset lain menunjukkan 59 persen pasien tuberkulosis merupakan perokok.
”Jadi, sebenarnya tidak ada negosiasi lagi bahwa masyarakat harus berhenti merokok. Seluruh pihak harus bekerja sama untuk memperkuat tersedianya fasilitas untuk berhenti merokok,” ujarnya.
Erlina menuturkan, kandungan zat berbahaya yang terdapat dalam rokok dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh. Selain itu, asap rokok pun dapat melumpuhkan silia yang bertugas untuk menggerakkan benda asing, termasuk kuman, bakteri, dan virus keluar dari saluran pernapasan.
Itu sebabnya perokok menjadi lebih rentan tertular tuberkulosis. Dari hasil penelitian yang dipublikasi dalam Journal of Infectious Diseases pada 2011 menyebutkan, kadar bakteri Mycobacterium tuberculosis pada tikus uji yang terpaan asap rokok meningkat. Progresi lesi pun menjadi lebih cepat.
Jadi sebenarnya tidak ada negosiasi lagi bahwa masyarakat harus berhenti merokok. Seluruh pihak harus bekerja sama untuk memperkuat tersedianya fasilitas untuk berhenti merokok.
Director International Union Against Tuberculosis and Lung Disease Tara Singh Bam menyampaikan, merokok menjadi faktor risiko yang signifikan dari tuberkulosis. Merokok tidak hanya meningkatkan risiko penularan, tetapi juga meningkatkan risiko kematian dan kekambuhan kepada pasien tuberkulosis. Risiko keparahan klinis pun semakin besar pada perokok yang tertular tuberkulosis.
”WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) telah melaporkan bahwa angka TBC (tuberkulosis) dapat menurun hingga 20 persen jika merokok bisa dieliminasi,” ucapnya.
Indonesia merupakan negara dengan kasus tuberkulosis terbanyak ketiga di dunia setelah India dan China. Berdasarkan WHO Global Report 2018, kasus baru TBC di Indonesia diperkirakan 842.000 kasus. Dari estimasi tersebut, baru 53 persen kasus yang diobati dan terlaporkan. Sementara itu, Indonesia telah menargetkan TBC bisa dieliminasi pada 2030.
Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Ede Surya Darmawan menilai target tersebut bisa dicapai apabila ada komitmen yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan termasuk masyarakat. Berbagai tantangan yang dihadapi harus segera diatasi, terutama upaya pengendalian konsumsi rokok di masyarakat.
Menurut dia, kerangka kebijakan yang tersedia saat ini harus mampu mencakup upaya pengendalian konsumsi rokok sekaligus upaya untuk mencegah penularan tuberkulosis. Kebijakan yang sudah disusun oleh pemerintah pusat juga harus dipastikan terimplementasi dengan baik sampai ke tingkat daerah.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Tjandra Yoga Aditama menambahkan, program penanggulangan rokok juga sebaiknya masuk dalam program penanggulangan tuberkulosis. Keberhasilan dalam eliminasi tuberkulosis amat terkait dengan pengetatan aturan terkait rokok.
”Investasi dalam kebijakan dan program pengendalian tembakau dapat mencakup dukungan upaya berhenti merokok pada semua orang dengan TBC, menciptakan kawasan tanpa asap rokok, menciptakan rumah bebas asap rokok, dan memasukkan terapi pengganti nikotin dalam layanan penanganan tuberkulosis,” katanya.
Kebijakan
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan, upaya untuk mencegah penyakit tuberkulosis dan dampak buruk lain akibat rokok telah menjadi fokus pemerintah. Kementerian Kesehatan juga berkomitmen menjalankan upaya pengendalian tembakau sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012, terutama terkait dampak kesehatan akibat konsumsi tembakau.
Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan Imran Agus Nurali mengatakan, komitmen pengendalian tembakau akan diperkuat melalui revisi PP No 109/2012. Proses revisi aturan tersebut hingga kini masih berlanjut.
Setidaknya, ada empat hal yang akan diatur dalam revisi tersebut, yaitu perbesaran peringatan kesehatan bergambar yang akan berlaku pada rokok konvensional dan rokok elektrik, penegasan aturan terkait rokok elektrik, membatasi iklan, promosi, dan sponsorship, serta penguatan fungsi pengawasan iklan, promosi, dan sponsorship yang saat ini dinilai masih sangat lemah.
Kepala Subdirektorat Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Arifin E Hutagalung mengatakan, pihaknya telah berupaya memperkuat integrasi penanganan tuberkulosis dengan pengendalian konsumsi rokok. Pembinaan dan pengawasan pun didorong agar implementasi standar pelayanan minimum kesehatan yang di dalamnya termasuk penanganan tuberkulosis dan implementasi kawasan tanpa rokok di daerah bisa semakin baik.
”Kemendagri telah menambah nomenklatur baru khusus untuk tuberkulosis dan implementasi KTR (kawasan tanpa rokok) sebagai strategi untuk perbaikan perencanaan daerah dalam penanggulangan tuberkulosis dan menurunkan prevalensi perokok,” katanya.